Senin, 01 Oktober 2018

My (Quite Short) IVF Journey

Tadinya aku sudah menuliskan petualangan IVF-ku dalam 13 tulisan pendek berseri. Sepanjang tiga minggu ini, aku membuat banyak catatan, tidak hanya proses IVF tetapi juga banyak hal baik lain yang aku jumpai dalam petualangan ini. Namun tiga hari lalu, semua postingan aku kembalikan ke format draft. Tepatnya setelah pagi itu aku menerima telefon dari embryologist di Thomson Hospital yang menangani biopsi enam embrio kami.

Enam embrio untuk aku yang berusia 40 tahun adalah kabar baik. Dari flyer yang kudapat dari rumah sakit, umumnya perempuan berusia 40 tahun akan mendapatkan 2 embrio pada tahap blastosis (setelah hari ke-5) untuk kemudian dibiopsi. Dari 11 telurku yang diambil, 10 yang dianggap mature. Tujuh berhasil dikawinkan, dan enam yang bertahan hinga tahap blastosis. Sampai di titik ini, aku merasa boleh berharap banyak.


Tapi pagi itu, embryologist menyampaikan hal yang sama sekali tidak kuharapkan. Aku lupa bagaimana ia menyampaikan, tetapi aku memahami bahwa tak satupun dari enam embrio memiliki kromosom yang normal untuk kami dapat melanjutkan tahap IVF berikutnya.

Lalu sudah.

Cukup sampai di sini rupanya. Petualangan IVF-ku dicukupkan sampai di sini. Dan tiga minggu yang penuh pengalaman baru dengan emosi yang naik turun, tiba-tiba terasa seperti mimpi.


Aku bersyukur bahwa kami sudah melakukannya dengan seluruh daya dan upaya. Aku tahu aku telah membuat keputusan terbaik semenjak memilih dokter dan rumah sakit di Damansara, Malaysia dan melakukan PGT (Preimplantation Genetic Test) sambil jungkir balik menghitung biaya yang tidak kami perkirakan sebelumnya.

Keputusan ini terbilang nekat, dan nekat sama sekali bukan kebiasaanku yang penuh perencanaan. Nekat berangkat ke Kuala Lumpur dan memutuskan memulai pada siklus ini juga dengan anggaran yang mepet hanya untuk IVF biasa, lalu tiba-tiba memutuskan PGT. Ini adalah tiga minggu yang paling menegangkan dalam hidupku.

Sekarang aku hanya bingung. Bingung menyikapinya. Kadang sedih dan menangis, tapi rasanya seperti menangisi sesuatu yang belum aku punya. Kehilangan sesuatu yang belum ada. Kadang merasa baik-baik saja, life must go on. Tapi I am not that okay.


Aku tahu aku akan kuat. Kami kuat. Kami masih bersemangat kalau memang ada yang bisa kami lakukan. Kalau kami punya kesempatan untuk melakukannya lagi bahkan sampai tujuh kali, besar kemungkinan kami akan hadapi dengan gagah berani.

Tapi hari-hari ini, rasanya seperti ada satu titik yang aku tidak bisa kendalikan pada saat-saat tertentu, ada satu rasa yang tidak bisa aku definisikan. Satu hal yang membuatku merasa lebih baik, adalah mengetahui bahwa kami sudah berusaha sampai batas kemampuan kami. Sisanya adalah memang kuasa Allah.


***

Future will always provide good news!* - Salsa and Pascal

*Ini kalimat penghiburan terbaik yang ingin aku ingat. Salsa dan Pascal adalah pemilik rumah Airbnb yang kami tinggali di Damansara. Satu minggu kami di sana dan merasa seperti di rumah sendiri. Mereka sangat supportive (sebetulnya tidak hanya kepadaku, tetapi juga ke tamu-tamu yang lain) dan telah menjanjikan akan memberikan kamarnya free of charge tanpa melalui aplikasi jika nanti aku kembali untuk tahapan IVF selanjutnya, yang... ternyata tidak jadi.  

Ditambahkan pada 5 Oktober 2020:

...
Hush now my angel
I will always be with you
In your pretty smile
In a glow of tears
Out across the frosty night
I'll be there with you
Maybe you'll always breath in me
Ever in my heart
All the little pieces of you
Look how they shine above

(Hush, Lasse Lindh)

Sabtu, 17 Februari 2018

Membaca Padma

Sudah lama sekali, aku begitu selektif membaca terutama novel, selain memang waktu membaca jauh berkurang. Aku lebih memilih bacaan untuk kebutuhan pekerjaan saja. Itupun seringnya tidak habis satu buku, hanya baca bagian-bagian yang diinginkan dari beberapa buku. Novel yang aku baca dalam lima tahun terakhir kalau tidak salah hanya serial Supernova. Itu juga karena sudah kadung baca sejak seri pertamanya dulu, masih zaman kuliah.

Tapi kalau adikku sendiri yang menulis novel, sebagai kakak yang baik tentu aku harus membaca dan menuliskannya, agar kalau di-google bisa muncul namanya. Apalagi novelnya belum juga dicetak, masih hanya terbit dalam edisi e-book.


Mimpi Padma. Penerbit mengategorikannya sebagai "dark lit". Entah apa yang dimaksud dengan "dark" ini. Mungkin untuk mengesankan misterius. Well, novel ini memang berisi petualangan yang penuh misteri, tetapi bukan cerita horor yang menyeramkan. Justru kisah cinta yang melampaui ruang dan waktu. Bersiaplah.

Adikku beruntung. Ia yang lebih muda satu dekade, bertumbuh di zaman kreativitas menulis tidak sulit mendapatkan tempat di ruang-ruang formal. Ada satu masa beberapa tahun lalu, toko buku penuh dengan kisah-kisah romantika berbungkus "chick lit" dan banyak di antaranya adalah debutan karya penulis-penulis muda. Bisa jadi, pembaca yang juga seusia, merasa lebih dekat dengan penulis. Apalagi kisah yang diceritakan tidak jauh-jauh dari pengalaman usia mereka, seputar cinta dan persahabatan. Tolong koreksi kalau aku salah, karena aku bukan pembaca chick lit.

Sementara aku, di usia remaja hanya mengenal beberapa saja nama yang karyanya dipajang di toko buku. Mereka semacam Hilman, Zara Zetira, Gola Gong dan Bubin Lantang. Tidak ada yang lain. Menjelang kuliah, aku membaca sastra yang dipikir-pikir ceritanya memang berat dan rumit. Bukan berarti aku sombong dan mengklaim bacaanku lebih berat dari bacaan adikku, karena ia juga membaca buku-buku sastra. Ia membaca mungkin lebih banyak dan lebih beragam dari aku yang hidupnya sudah mulai 10 tahun lebih dahulu. Tapi maksudku menuliskan ini, bahwa adikku punya pengalaman membaca yang banyak dan beragam, dari yang ringan-ringan sampai yang berat dan butuh mikir. Itu kenapa "Mimpi Padma" menurutku bukan sekadar varian dark dari chicklit yang menjamur, bukan semacam varian dark cokelat Silverqueen (eh, masih ada ngga, sih?). Meskipun harus kuakui, penokohannya mengingatkan aku pada beberapa serial drama Korea. Yeah, selain buku-buku, adikku tumbuh bersama serial Asia, mulai dari Jerry Yan, Takuya Kimura, sampai Lee Min Ho (mohon maaf, aku tidak hafal nama aktor perempuannya. Hehe...), dan kesukaannya itu masih berlanjut hingga kini.

Satu-satunya yang membuat ini terasa seperti Silverqueen yang ringan dan manis adalah karakter tokoh-tokoh utama yang mengingatkanku pada serial drama Asia: perempuan selengean dan cuek berhadapan dengan tokoh laki-laki yang digambarkan tampan memesona. Untung saja karakter perempuan tidak digambarkan miskin. Kalau iya, telenovela itu artinya... Tapi aku juga melihat idealisasi penampilan adikku di tokoh Padma: parka hijau, ransel, running shoes, dan arkeologi. That's her. Meskipun aku curiga juga bahwa penampilannya banyak dipengaruhi drama Korea.

Di luar itu, aku menikmati membaca novel ini. Bahasanya mengalir, penggambaran yang detail, serta cerita yang terjalin sangat baik dan teliti. Membaca keseluruhan novel ini, tidak terasa seperti makan Silverqueen. Mungkin semacam Hershey's varian dark. Manisnya tidak berlebih, bikin gembira, tapi juga terasa berbobot coklatnya. Kurasa karena arkeologi-nya yang bukan sekadar tempelan pada tokoh Padma, tetapi membaur dalam cerita. Data arkeologisnya terdeskripsi secara detail. Tentu saja karena penulisnya adalah arkeolog. Dan ia berhasil menggunakannya untuk memperkuat cerita.

Selanjutnya aku berharap Cadbury Old Gold.

Senin, 01 Januari 2018

syukur

Belum selesai menghitung segala kebaikan di tahun 2017, tahu-tahu sudah 2018. Ini gara-gara rencana menulis melow di malam tahun baru tergantikan tidur nyenyak menemani migrain, yang entah kenapa.

Tahun 2017 patut disyukuri atas semua hal-hal baik yang menggembirakan, dan hal-hal (yang saat itu mungkin) kurang baik yang mendewasakan. Tahun ini aku masih banyak melakukan perjalanan, dan kebanyakan perjalanan itu aku bersama Dodi: Jember, Jogja dua kali, Taipei-Toronto, dan 'pulang' ke rimba September kemarin. Yang harus di-highlight adalah perjalanan dengan Mama ke Singapore. Sekalipun rencana sedikit berubah, tapi aku yakin kami berdua sama-sama menikmati perjalanan ini dan sama-sama mengenal lebih dekat setelah sekitar 14 tahun tidak serumah lagi. Aku ingin mengulangnya lagi kalau ada rejeki dan kesempatan. 

Sokola masih awesome tahun ini, sekalipun berjalan seperti roller coaster. Kadang happy dengan adrenalin yang bergejolak, kadang kalang kabut menghitung saldo, dikejar deadline, dan memikirkan masa depannya :D Tapi yang terbaik, aku bekerja dengan suami dan sahabat-sahabat yang seperti keluarga. I could not ask for more.

Beberapa hal yang membuatku sedih, tentu tidak akan aku tulis di sini. Tetapi sebagaimana biasanya, dalam keadaan yang tidak menyenangkan pun aku masih dikelilingi hal-hal terbaik, yang menjadikan energi untuk tetap berpikir positif. Lagi pula, aku tidak banyak mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan. 

Tahun 2018 tentu diawali dengan banyak doa dan harapan baik. Aku punya doa khusus yang kubisikkan siang dan malam. Tetapi begitulah semesta ini bekerja, semakin kita menginginkan sesuatu semakin kita harus berserah pada kuasa-Nya. 

Apapun nanti, terima kasih Allah, atas semua kebaikan yang menyertai (hampir) 40 tahun perjalanan hidupku. Atas orang-orang baik di sekelilingku, atas semua kemudahan di hidupku, atas semua petualangku, atas pertemuan dan setiap detik waktuku dengan Dodi, atas pekerjaan awesome, atas kerikil-kerikil yang kemudian mendewasakanku. Alhamdulillah. 




Senin, 25 Desember 2017

Red Blanket

Duh, ini sudah lama sekali. Kado untuk anaknya Lilly, Ikay, setelah masa penantian panjang. Sekarang anaknya udah mau umur dua tahun. Hehehe...

Simple quilt. Kanvas impor yang aku beli setengah meter saja berjodoh dengan kain strip merah. Dibaliknya pakai flanel kotak-kotak, juga merah. Senang sekali kalau kain-kain yang dibeli terpisah bisa menemukan jodonya...





Rabu, 25 Januari 2017

self potrait

Waktu kecil, diajak jalan-jalan ke Pasar Seni Ancol dan ngeliat banyak orang bikin siluet kepala seperti ini. Biasanya siluet kepala dibuat dari kertas hitam yang dibentuk lalu dipigura dengan dasar warna putih. Dulu penasaran banget gimana cara bikinnya, kok bisa mirip dengan orang aslinya. 

Teringat lagi dengan penasaran ini saat buka-buka pinterest dan menemukan banyak improvisasi dari siluet kepala. Langsung deh, penasaran untuk bikin. Apalagi sekarang teknologi sudah sangat memudahkan. 

Pertama, bikin foto dari samping. Aku pakai kamera yang nyambung ke HP sebagai remote control-nya. Jadi ngga terlalu susah untuk ngepasin posisi. Kalau pakai kamera HP juga bisa, tinggal pakai timer. 


Lalu, pindahin fotonya ke laptop. Nah, layar laptop kan cukup terang jadi bisa pakai kerta HVS di atas monitor laptop dan trace siluet kepala di situ. Pakai pensil 2B dan jangan terlalu kuat nekennya, sayang laptopnya. Hehehe...

Maka jadilah pola siluet kepala. Tinggal digunting mengikuti garis. 


Pola ini bisa langsung jadi siluet. Tapi karena aku mau bikin sulaman siluet, jadi pola ini yang aku blat lagi ke kain untuk disulam. 



Kebetulan ada pigura bekas kenang-kenangan pas jadi pembicara. Karena piguranya lebar, ya jadi cari ide untuk menuhin gambarnya.