Minggu, 01 November 2015

jahitan sendiri

Kenapa aku ingin menjahit baju sendiri? Karena seringnya baju yang aku ingini tidak ada di toko. Kalaupun ada, biasanya yang harganya mahal. Maklum, selera tinggi tidak dibarengi income yang setara... hahaha...

Tapi itulah seninya. Mencari apa yang sesungguhnya aku, bukan sekadar memilih yang paling cocok yang disediakan oleh pasar. Dan batik, mungkin yang paling sering aku jahit. Aku sangat suka batik. Tapi jarang sekali menemukan baju batik yang pas dengan seleraku. Lagi-lagi, kalau ada, biasanya mahal. 

Nah, batik yang aku jahit ini punya tiga alasan yang bikin aku bahagia berlipat-lipat. Pertama, bahwa ini batik tulis halus. Kainnya pun halus sekali. Jarang sekali pegang yang seperti ini. Kedua, batik ini punya motif simetris karena sebetulnya ini dibuat dalam bentuk pola kemeja. Maka aku tinggal menyesuaikan polanya saja. Dan hal terakhir yang melengkapi kebahagiaan adalah aku tidak membeli kain ini... Salah satu keuntungan (sempat) tinggal di rumah nenek adalah banyak barang-barang yang ditinggalkan pemiliknya. Dan saat pindahan, barang-barang tak bertuan baru ketahuan. Sebagai penghuni terakhir, harta karunnya jatuh ke tanganku ; )


Debutan pertama di Singapore, awal September lalu saat kami (aku dan Butet) diundang mewakili Sokola mempresentasikan kerja kami di UniSIM dan SMU. I feel pretty in batik!


Sebelum menjahit atasan itu, sebetulnya aku juga menjahit rok lilit - wrap skirt dari kain batik klasik motif udan liris. Batiknya batik cap. Dan ya, setelah pegang batik tulis, maka batik cap seperti tidak ada apa-apanya... hehehe... Aku kasih nilai tujuh untuk jahitan ini. Agak kurang puas. Entah apanya.


Aku memang sedang suka dan punya ingin tahu yang besar dengan motif-motif batik klasik jogja. Merasa perlu untuk tahu budaya leluhur tempat asalku...


Jahitan terakhir, dua hari yang lalu. Akhirnya bikin kimono top setelah lama mempertimbangkan dan mencari pola yang paling oke menurutku. Pilihan jatuh pada kain linen berserat kasar yang dibeli awal tahun ini di Cipadu - yang aku hampir lupa.


Maafkan cermin kamar mandi yang kotor itu. Tapi melihat hasilnya rasanya cukup puas. Dari contekan terbaik yang aku dapat di pinterest, masih aku modifikasi lagi, disesuaikan ama ukuran badan dan selera. Aku tambahkan pinggiran di bagian depan, jadi bukan hanya dikelim. Biar mirip kimono beneran. 



Hasilnya? Aku suka sekali! Semacam mencoba gaya baru, tanpa merasa asing.

Selasa, 04 Agustus 2015

Menjahit Korden ala Penjahit Pemalas

Memasuki rumah baru. Yang pertama terpikir adalah jendela yang besar-besar, terutama di kamar tidur yang artinya wajib pakai korden. Wajib dan segera. Maka sebelum pindah, aku sudah mencari berbagai referensi tentang korden.

Untungnya sekarang rel dan perangkat korden tidak serumit jaman dulu. Kalau ingat rumah-rumah dulu, tipikalnya adalah dua lapis korden, masing-masing vitrase yang tipis dan tembus pandang dan baru tirai tebalnya. Belum lagi rel yang rumit, kordennya juga perlu dijahit khusus, dipasang besi bercabang tiga untuk pengaitnya, juga lipatannya yang mesti mati sehingga menghasilkan zig-zag yang rapi.

Tapi sekarang justru lebih sederhana. Dulu saja, jaman kuliah, aku membuat sendiri rel korden kamarku dengan memasang besi pengait (yang bentuknya seperti tanda tanya itu) di dua tepi kusen jendela, lalu dipasang kayu bulat yang dibeli di toko kayu sekalian minta mereka potong sesuai ukuran. Nah, sekarang juga banyak penjual rel korden yang model dasarnya semacam itu. Bentuknya macam-macam. Hanya saja, kebanyakan aku tidak suka dengan modelnya yang penuh ornamen. Pilihan warnanya juga keemasan dan keperakan.

Aku sungguh beruntung, IKEA baru saja membuka tokonya di Jakarta (eh, Serpong ding). Dan IKEA punya berbagai model rel korden yang simpel dan terjangkau. Aku juga segera browsing korden di website IKEA. Seperti biasanya, IKEA menawarkan range harga yang beragam. Harga termurahnya bisa dibilang terjangkau. Tapi korden itu masalah kain. Dan aku, di mana-mana selalu kalau megang kain, pasti yang harganya mahal. Seperti di toko IKEA, tanganku terlanjur memegang korden yang harganya satu juta kurang seribu rupiah. Kalau sudah begitu, korden yang seharga 200an ribu langsung bikin ilfil.

Korden yang kupegang berwarna abu-abu berbahan linen! I always fall in love with linen. Tapi harga segitu ngga masuk budget, dan ngga masuk akal buatku. Jadi mending mundur aja. Bye bye korden linen…

Akhirnya memutuskan untuk mencari bahan linen (well, linen look, campuran poly alias kw) yang murah. Di mana? Tentu cipadu tempatnya. Sukur-sukur nemu linen beneran sisa industri garmen dengan harga miring. Tapi jalan menuju Cipadu sungguh tidak bersahabat belakangan ini, sejak pembangunan jalan layang ke Ciledug. Maka aku putar halauan ke Mayestik karena macetnya pun sama tidak masuk akalnya dengan harga korden linen di IKEA.

Setelah keluar masuk toko, ternyata di toko langganan lah akhirnya mendapatkan kain linen-look dengan harga termurah. Meskipun sempet pengen linen beneran yang harganya tiga kali lipat, tapi aku tidak tergoda. Kalau cuma satu-dua meter sih oke. Untuk jendela kamarku, aku butuh lima meter lebih!

Tips dari aku, untuk menjahit korden pilihlah motif kotak-kotak untuk menghemat waktu. Pertama, ngga perlu bikin garis untuk paduan menggunting bahan. Selian itu, pas bikin lipatannya juga ngga kuatir bakal miring. Ngga butuh penggaris! Aku bahkan mengukur panjangnya dengan menghitung ubin di mana kain digelar, lalu mencari garis terdekat untuk lipatan atau potong bahan.

Kain linen-look aku pakai untuk jendela kamar yang berukuran cukup besar. Butuh dua lembar korden yang masing-masing tingginya 2,4 meter. Lebar kainnya aku pakai semua, jadi tidak perlu memotong lagi. Justru bagus kalau kelebihan. Saat ditutup, kordennya masih akan bergelombang, tidak rata.




Untuk lubang rel-nya, aku menjahitkan pita-pita di bagian atas belakang. Hasilnya sangat menyenangkan. Sampai sekarang aku masih terus memandangi korden itu dengan bangga. Puas rasanya melihat korden itu bergelombang sempurna. Beda tipis dari korden IKEA yang harga sejuta :D



Korden kedua yang kujahit adalah untuk ruang kerja Dodi. Lebar jendelanya hanya 90cm. Dodi setuju kordennya flanel kotak-kotak. Yes! Cuma semangat menjahit ini yang susah. Aku paling malas untuk mengulang membuat jahitan yang sama. Apalagi cuma lurus-lurus dan besar. Itu membosankan. Penyakit pemalas!

Untung kali ini motif kotak-kotaknya lebih jelas. Mengurangi tingkat kesulitan. Dan karena malas menjahit pita-pitanya, aku putuskan untuk memakai ring yang sudah ada penjepitnya dari IKEA. Jadi, aku juma perlu menjahit empat sisinya saja... Hehehe…



Kali ini ternyata kordennya kepanjangan sekitar 10cm karena aku lupa ukuran jendelanya. Saking malasnya, korden baru kupotong hari ini - setelah lebih dari sebulan terpasang, mumpung mesin jahit sedang terbuka setelah kemarin aku menjahit bantal untuk Fazil. Itupun aku terlalu malas untuk mengganti benangnya. Padahal yang dulu juga malas ganti benang coklas sehabis menjahit korden kamar.


Bandingkan tingkat kesulitannya dengan yang di bawah ini. Kainnya dua macam disambung-sambung. Lubang relnya juga dijahit dari kain yang sama.


Ini korden ukuran jendela rumah sebelum renovasi. Kupasang di sini karena sudah malas menjahit korden lagi, meskipun agak risi melihat bagian bawahnya yang menggantung. Tapi ya, sudahlah. Kapan-kapan lagi menjahit korden. Hahaha!

Minggu, 02 Agustus 2015

monster gigi satu: no rules!

Kalau asam lambung sudah naik dan berasa mual, leher kaku, dan mulai ngomel-ngomel sendiri… Itu tanda sudah saatnya menjahit lagi. Lebih dari sekedar hobi, menjahit bikin hepi. "Sewing is my meditation," kata Junthamas seorang teman dari Chiang Mai yang menjahit dan menyulam sendiri pakaian dan lain-lain dengan tangan. 

Mungkin betul. Hepi adalah salah satu efeknya. Yang pasti bisa meredakan ketegangan, memancing imajinasi, dan - mungkin konyol - tapi aku merasa cantik saat menjahit. Hehehe...

Awalnya mau jahit baju untuk diri sendiri. Tiba-tiba ingat kalau keponakan mau ulang tahun. Maka putar otak cari ide jahitan. Tadinya mau bikin bantal, karena selalu suka ekspresi Fazil saat memeluk guling dan boneka kesayangannya. Tapi di rumah cuma ada cushion ikea ukuran 50x50cm. Sepertinya terlalu besar untuk dipeluk bocah berusia satu tahun. 

Mulailah browsing di pinterest. Ini bisa panjang karena fokus terpecah-pecah. Sampai akhirnya menemukan bentuk monster ini dengan mengambil potongan-potonga ide dari banyak contoh. 

Proses paling menyenangkan berikutnya adalah mencari kain dan memadu-padankan. Aku selalu senang kalau bisa menemukan padanan yang cantik dari kain-kain yang kubeli bukan disengaja untuk menjadi padanannya. Rasanya seperti mak comblang! Hahaha… Dan proses ini bisa lama. Karena banyak kain yang dilihat - dari yang masih lipatan besar sampai yang perca, juga tiba-tiba muncul ide-ide jahitan lain. Dan semua kain yang dipakai untuk menjahit monster ini, bahannya bagus-bagus banget. Linen dan katun berkualitas. 


Menjahitnya sendiri cuma perlu tiga jam, sudah termasuk draft (tanpa pola), menjahit kancing dan menyulam untuk senyumnya, mengisi dakron, sampai merapikan benang-benang sisa. Dan yang seru, menjahit monster ini tanpa aturan! Ngga perlu pola, ngga perlu mengukur dan membuat garis lurus dengan penggaris, ngga perlu simetris, warnanya bebas...


Sengaja dibuat satu gigi karena yang aku ingat, Fazil giginya baru tumbuh satu di bawah depan. Meskipun info terbarunya sudah tiga :D


Dan bagian yang paling-paling menyenangkan - dalam arti betul-betul membuat hepi, adalah saat selesai. Ngga ada puasnya dipandangi, dielus-elus, difoto berbagai posisi, dicium-cium… Ini butuh waktu lebih lama dari proses menjahitnya. Jadi total waktu menjahitnya seharian...



Ini menjahitku yang pertama di rumah baru. Jadi masih banyak bahan dan peralatan tersimpan di dalam kardus yang terpisah. Dan ini hasilnya… 


Tapi ini juga berarti bahwa aku sudah mengklaim bahwa ruang ini menjadi ruang jahitku. Yeaayyy!!!


Selamat ulang tahun, dear Fazil! Tumbuhlah dengan sehat dan percaya diri. 

batik wrap pants

Ini kostum lebaran. Tiba-tiba keidean bikin wrap pants. Dulu celana model begini pernah ada di Malioboro. Dulu, jaman sepuluh tahun lalu. Beberapa waktu lalu, nemu tutorialnya di pinterest. Diliat-liat bentuknya jadi kayak kulot. Oke juga.



Bahannya batik Lasem, yang dipakai seragam waktu acara midodareni nikahan Bhas. Motifnya krecak, konon terinspirasi dari batu-batu pada saat pembangunan Jalan Raya Daendels. Menurutku, ini cantik!

: )

Senin, 27 Juli 2015

Home is Where the Heart is: Pulang!

Ceritanya panjang untuk akhirnya pulang. Bahkan sampai beberapa hari menjelang lebaran, aku belum tahu akan lebaran di mana.

Dodi tidak bisa libur dari lapangan. Dan sepertinya tidak memungkinkan kalau aku ikut berlebaran menyusulnya seperti waktu ia penelitian di Ketapang beberapa tahun lalu. Sempat memutuskan untuk berlebaran di Jakarta saja, paling ke rumah bude-tante di sini. Tapi semakin dekat hari H, rasanya kok semakin sedih. Dan tiga hari sebelum lebaran, aku memutuskan untuk pulang. Tiket pesawat sudah mahal, apalagi setelah habis-habisan mendandani rumah. Kereta api sudah sold out. Hilda menawarkan travel temannya, well bukan travel biasa, tapi mobil rental yang dijadikan travel di musim mudik ini. Kebetulan ada kursi kosong yang berangkat H-1 lebaran.

H-1. Sudah menunggu dari sahur, ternyata mobilnya belum bisa balik ke Jakarta. Semalaman terjebak macet di Brebes. Sampai hampir tengah hari tidak ada kepastian. Percuma juga kalau berangkat sudah sore atau malam, atau bahkan besok. Tidak akan bisa mengejar lebaran. Padahal sudah terbayang ketupat opor + sambal krecek, nastar, kamar, rumah dan tentu keluarga. Apalah lebaran, kalau kita tidak pulang ke rumah. And home is where the heart is. Rumahku dua, ke Dodi atau ke Mama.

Sambil berlinang air mata, akhirnya aku browsing tiket. Beberapa kali refresh traveloka. Habis. Tinggal tiket yang harganya dua juta. Ngga mungkin beli semahal itu. Sampai akhirnya, ting! Ada satu tiket, berangkat sore itu dengan harga di bawah satu juta. Mungkin ada orang cancel. Tanpa pikir panjang langsung booking, mandi lalu repacking.

Akhirnya pulang dengan bahagia.

Aku layak bahagia, karena ternyata sudah setahun tidak pulang. Terakhir lebaran tahun lalu. Sepuluh hari di Jogja untuk menebusnya, dan hanya di rumah. Mungkin aku harus minta maaf ke teman-teman di Jogja karena sepuluh hari di Jogja aku sama sekali tidak berkabar apalagi ketemuan. Setelah lebih dari sebulan sendirian karena ditinggal Dodi penelitian ke Riau, maka 'rumah' adalah tempat yang kurindukan. Home is not a place, it's a feeling.

Hari ini kembali ke Sawangan dengan gembira. Ke rumah kami.


Sampai di rumah langsung menyeduh teh dan senyum-senyum sendiri. Membongkar bawaan yang besarnya tiga kali lipat dibandingkan saat ke Jogja. Dan barangkali juga mudik membawa energi baru, karena aku langsung mencari sepasang kain jarik hadiah ulang tahun dari mama tahun lalu.



Sido Asih latar putih, khas jarik Jogja, lalu aku wiru - membuat lipatan-lipatan di satu sisinya, begitulah kami memakai jarik. Satu wiru perempuan untuk aku, dan satu lagi wiru laki-laki untuk Dodi.


Waktu kelas empat SD, aku pernah juara wiru jarik dalam rangka ulang tahun kemerdekaan RI di sekolah. Waktu itu belajar semalaman dari Mama. Kalau sampai hari ini tidak pernah lagi juara wiru jarik, itu karena memang tidak ada lagi lomba ini lingkunganku. Lebih dari itu, aku percaya ada kebanggaan menjadi Jawa.

Tidak hanya Jawa, tetapi Jogja. Di rumah kemarin, bongkar lemari Mama dan akhirnya dua jarik dihibahkan untukku. Satu jarik sogan Solo, dan satu lagi kasatriyan Jogja. Kebahagiaan lengkap setelah akhirnya aku mendapatkan kebaya lurik yang pas dan bagus. Pas dan bagus, karena sejak beberapa tahun yang lalu bolak-balik ke Tjokrosuharto ngga dapet lagi kebaya yang luriknya halus atau setidaknya lumayan. Kemarin tanpa sengaja, dapet kebaya ini di Jalan Solo dengan harga yang amat meringankan dompet ; )

Kebaya lurik dan jarik kasatriyan. I could not ask more for lebaran.



Selamat Lebaran,
Maaf lahir dan batin!