Angkasa tanpa pesan, merengkuh smakin dalam
Berselimut debu waktu ku menanti cemas
Kau datang dengan sederhana, satu bintang di langit kelam
...
Khayalku terbuai jauh
Pelita kecilmu mengalir pelan dan aku terbenam
(RSD-Satu Bintang di Langit Kelam)
Lain waktu, sering kali aku mencari-cari bintang layang-layang di langit selatan. Bukan apa-apa, cuma rasi selatan itulah yang aku ingat. Jakarta nyaris tidak pernah punya bintang. Langitnya selalu kemerahan. Jelek dan tidak menghibur orang-orangnya yang kelelahan. Kemewahan bintang selalu kudapatkan di Jambi, terutama di rimba sekalipun hanya mengintip dari balik rimbun dedaunan. Di Sawangan, lumayanlah. Masih bisa menikmati malam-malam berbintang. Tetapi tidak malam itu.
Aku ingat sekali malam itu, ketika hari baru saja dimulai. 27 April 2014. Dalam perjalan di boncengan motor yang melaju perlahan, aku melihat langit. Sepi. Tidak ada bintang sama sekali. Lalu aku ingat kalau siang hari tadi aku menyulam bintang merah sebagai aksen pada sebuah sarung bantal kecil untuknya. Setidaknya aku punya bintang hari itu. Bintang yang kusulam dengan doa dalam setiap tarikan benangnya. Juga aku mengingat bahwa tadi aku tertidur dengan buku doa yang masih di tangan, serta menyempatkan sholat sunat sebelum beranjak menuju rumah sakit. Aku siap menghadapi yang terburuk.
Aku bisikkan terima kasih melalui langit, atas banyak nikmat dan pelajaran yang Tuhan berikan pada minggu-minggu terakhir ini. Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Kuikhlaskan ia kembali kepda-Mu, ya Allah.
Kuselipkan pula doa untuk ibuku. Aku sangat yakin, dari ia lah semua kekuatan ini berasal.