Rabu, 09 Oktober 2013

intimate: sewing for purpose

Masih ingat jahitan ini dan ceritanya


Dijahit di awal tahun 2010 untuk seorang kakak sepupu yang sedang berjuang melawan kanker. Waktu itu, ia menjalani proses penyembuhan pasca pengangkatan kanker di mulut rahim. Dan sekarang, hampir empat tahun setelah vonis kanker itu, ia masih berjuang melawan sel-sel kanker yang ternyata telah menyebar ke seluruh tubuhnya. 

Ada kelegaan luar biasa ketika beberapa hari yang lalu Mba Oke bilang bahwa benjolan-benjolan besar yang selama berbulan-bulan ini memberati lehernya telah berangsur mengecil, mengempis. Secercah harapan muncul setelah ikhtiar panjangnya. Tapi sungguh, aku nyaris tidak pernah melihatnya muram atau mendengar keluhannya. Dan aku sama sekali tidak bisa membayangkan ketika ia menceritakan betapa sakit badannya selama berbulan ini, tapi tanpa ekspresi muram. Tentang perangkat pain killer-nya. Biasa saja. Seperti saat ia pernah bercerita tentang toko-toko kain di Cipadu - waktu itu, aku belum pernah ke sana. Padahal aku tahu, bahwa obat-obatan penahan sakitnya sudah tingkat tinggi yang tidak bisa dibeli sembarangan. 

Ia tetap bekerja dari rumah, meskipun tak lagi mengajar. Tetap menjadi ibu yang mengingatkan anak-anaknya belajar atau mengomel ketika ada yang kurang benar. Mata dan senyumnya adalah optimisme yang membuat tenang orang-orang di sekitarnya. Ia membuatku mempunyai rumusan baru mengenai optimisme, yaitu tetap semangat dan positif ketika tak ada seorangpun yang bisa memberikan kepastian tentang situasi yang dihadapi. 

Dan pagi kemarin, sambil berpelukan kubisikkan doa-doa kesembuhan, kekuatan dan perlindungan untuknya selama menunaikan ibadah haji. Keep fighting, Mba! Very proud of you!

Kujahitkan ini untuk menambah semangatnya


Kanvas pouch dengan tali kulit. Modelnya memang terinspirasi tak sengaja dari sebuah produk merek internasional yang aku lihat tak sengaja di perjalanan. Kupikir lucu. Dan sudah lama Mba Oke aku pamerin kain kanvas ini. 


Bagian dalamnya aku beli lapisan plastik polka-pink. Maksudnya supaya bisa dipakai untuk membawa misalnya handuk yang basah atau lembab.


Dan, pegangan dari kulit yang aku jahit dengan tangan.

Kuakui, aku menikmati proses ini. Setiap tusukan benang yang aku jahitkan punya tujuan. Ada doa yang terselip di antaranya. Mungkin itu kenapa, sesuatu yang aku jahitkan untuk seseorang dengan tujuan tertentu biasanya sangat cepat kukerjakan, dengan penuh semangat. Atau ide-ide baru yang spontan tak kalah menggairahkan untuk segera diselesaikan. Malah, kalau tidak buru-buru dieksekusi cuma bikin aku sakit hati.

Sebaliknya, pesanan jahitan akan sangat membuatku merasa terbebani. Aku kurang suka membuatnya. Mungkin karena tidak ada kedekatan antara aku dan pemakainya, tidak ada tujuan yang menggerakkanku menjahit. Apalagi di saat-saat sibuk seperti belakangan ini. Menjahit seperti rekreasi atau penyeimbang di antara deadline proposal atau laporan, karenanya tentu aku akan memilih menjahit yang aku suka.

Sewing for purpose. Kupikir begitulah.

Senin, 23 September 2013

Sokola Asmat

Terima kasih, suamiku, karena telah memenuhi janjimu beberapa bulan lalu bahwa akan ada Sokola di Asmat. Program baca-tulis-hitung bagi anak-anak di sana.

Sekalipun ini adalah kerja tim SOKOLA - termasuk aku, tapi tetap saja ini terasa sangat personal. Ini tentang kita, sahabat-sahabat terbaik, dan mimpi yang sama.

Foto: Aulia Erlangga/dok.SOKOLA

Very proud of you!

Sabtu, 24 Agustus 2013

weekend sewing: akhirnya menjahit lagi!

Ini hasil jahitan weekend lulu. Dua hari yang indah! Rasanya bahagia sekali saat kembali mendengar suara mesin jahit. Dan lega bisa menjahit beberapa ide yang selama ini menuh-menuhin pikiran.

Yang pertama kujahit adalah tas ini. Kain kanvas dan kulit untuk talinya udah dibeli sejak tahun lalu. Idenya udah berkembang macem-macem, tapi akhirnya back to basic: tote bag. Tali kulit ini eksperimen pertama menjahit kulit. Aku beli kulitnya selembar, di toko kulit di Jogja. Tadinya kepikir mau jahit talinya di tukang tas karena dia punya mesin yang biasa menjahit bahan tebal. Tapi karena ngga sabar nunggu besok, akhirnya aku jahit tanggan. Lumayan alot... 

Lalu kantong kecilnya, itu sebetulnya additional pouch untuk tasnya. Di bagian dalam tas, ada pengait untuk nyantolin pouch-nya. Baik tote maupun pouch-nya, dijahit tanpa diukur. Aku potong-potong kain begitu saja, lalu jahit. 


Ohya, pengalaman pertama ke toko jahit di sekitar Sawangan sini. Kaget sama murah-murahnya. Benang jahit Rp1.500. Resleting YKK Rp1.000. Dan obras, cuma Rp1.000 untuk satu baju ini! Dan aku pulang dari toko jahit dengan senyum mengembang.


Kain tenun ini dibeli di Makassar, sudah lebih dari setahun. Aku suka warnanya. Modelnya kujahit tanpa pola. Cuma dengan menjiplak dari beberapa baju yang aku punya. Beda-beda jiplakannya. Ada baju yang aku ambil potongan lehernya, ada baju yang dijiplak bagian bawahnya, juga untuk ukuran badannya. Mungkin sedikit terlalu lebar karena - namanya juga menjiplak, pasti garis yang dibuat di luar ukurang yang dijiplak.

Sebetulnya masih ada dua item lagi yang kujahit weekend itu (benar-benar menggila!), tapi belum sempat foto. Satu laptop sleeve untuk Dodi, upcycle dari kaos yang ngga dipake. Hasilnya oke. Mungkin nanti, kalau nemu gambar kaos yang bagus, mau juga bikin untuk laptopku.

Selain itu, aku juga menyelesaikan korden untuk kantor SOKOLA. Ini juga hutang lama. Tapi tetap saja, baru satu korden terjahit. Padahal jendela kantor ada dua... Hehehe...

Dan setelah menjahit kemarin, rasanya bahagiaaaaa sekali!



Selasa, 13 Agustus 2013

intimate #21 "Carpe Diem"

Lebaran adalah waktunya bersama keluarga, makan, berkabar, dan bergembira. Sayangnya memang, lebaran ini ngga bisa pulang ke Jogja. Waktunya terlalu sedikit karena kami masih harus mempersiapkan kegiatan Ekspedisi Literasi Papua dan ulang tahun SOKOLA yang semakin dekat. Dengan harga tiket yang sangat mahal, terlalu sayang kalau cuma sebentar di Jogja. Maka lebaran ini kami di Bandung, di keluarga Dodi. Lalu buru-buru ke Jakarta dan kumpul bersama keluarga besarku. 

Selalu ada hal yang menjadi alasan kami untuk berkumpul - meskipun sejak aku pindah ke Sawangan, intensitasku berkurang. Kali ini kami merayakan lebaran sekaligus perpisahan dengan Tanya, sepupuku yang akan segera terbang ke Swedia untuk melanjutkan sekolahnya di sana. Banyak doa untuknya. 

Aku jadi mengingat pengalamanku sepuluh tahun yang lalu. Di usia yang sama dengan Tanya sekarang, untuk pertama kalinya aku meninggalkan rumah untuk ke Jambi, ke tempat yang sama sekali tidak kukenal dan tak ada seorangpun yang kukenal di sana. Saat itu, keluarga-keluarga di Jogja datang untuk mengantarku pergi. Sebelumnya ada farewell kecil-kecilan di Jazz Coffee dengan teman-teman terdekat. Menu istimewa disiapkan oleh Mba Anik, pemilik Jazz Coffee: kopi duren. Aku juga membawa puding caramel dari rumah. 

Pesan-pesan perpisahan, pelukan selamat tinggal dan doa dari orang-orang terbaik adalah bekalku merantau. Masih kusimpan jurnalku waktu itu, yang ditulisi catatan perpisahan dari semua teman. 

Aku ngga pernah tahu, akan berapa lama pergi. Tapi aku masih ingat, saat itu aku percaya bahwa Jambi adalah langkah pertamaku melihat dunia. Ini tertulis di jurnalku saat itu. Dan pada akhirnya memang, pengalaman Jambi membawaku untuk mendatangi tempat-tempat lain di Indonesia bahkan keluar negeri. 

Maka kupikir, momen ini juga akan menjadi titik penting buat Tanya yang juga selama 25 tahun tidak pernah meninggalkan Jakarta, rumah, untuk waktu yang lama. Akan jadi momen yang menentukan masa depannya. Aku yakin, pasti ia akan pulang dengan cara pandang baru dan kedewasaan. I can't wait to welcome the new her next year. 

Dan untuknya, kusiapkan sebuah kado kecil. Tak ada hal lain yang bisa kupikirkan sebagai hadiah selain sarung bantal. Hanya saja, ternyata aku tidak sempat untuk pulang ke rumah mengambil sarung bantal yang sudah kujahit serta benang dan peralatan sulamku. Dari Bandung kami langsung menuju ke Kebon Jeruk, tempat keluarga besar berkumpul.

Maka sisa waktu sehari setelah lebaran, aku memanfaatkan waktu keliling Bandung untuk mencari yang kubutuhkan. Sarung bantal kudapat di sebuah factory outlet, bahannya 100% katun dan sepertinya impor. Benangnya agak susah dicari. Toko-toko jahit tutup semua. Di BSM yang hanya sekitar 1 km dari rumah, ngga ada juga. Baru paginya, sebelum berangkat ke Jakarta, justru benang sulam ditemukan di warung kelontong dekat rumah. Dengan warna-warna yang cantik.

Maka inilah sarung bantal yang disulam dalam beberapa jam, dengan banyak keterbatasan:


Kata "Carpe Diem" pertama kali aku kenal dalam kuliah Sosiologi Postmodern. Diartikan dalam bahasa Inggris sebagai "seize the day" dan menjadi terkenal dalam film "Deat Poet Society". Belakangan, baru kutemukan definisi yang lebih akurat menurut wikipedia adalah "enjoy the day" atau "pluck the day" yang merunut bahasa aslinya (Greek) dianalogikan dengan panen, atau memetik buah-buahan yang masak. 

Dan memang satu hal yang ingin kupesankan ke Tanya, agar ia menikmati saja semua pengalaman di sana. Perjalanan ini sendiri (sampai sepuluh bulan ke depan) adalah proses belajarnya yang tidak tergantikan. 



Good luck our dear Tanya! We are gonna miss you...
***
Juga doa buat Mba Oke, agar diberikan kekuatan dan kesembuhan.

amin.

Selamat Lebaran semua! Maaf lahir dan batin!


Senin, 08 April 2013

Long Time No See

Lama juga tidak menulis di sini. Tahun ini tidak banyak yang kujahit. Tidak banyak waktuku untuk menjahit, meski banyak ide-ide berlari-larian di kepalaku. Mereka datang dan menari-nari, lalu kebanyakan hilang sebelum aku bisa memindahkannya dalam jahitan. Mungkin aku akan menulis panjang-panjang sekarang, mumpung sempat. Dan meng-upload beberapa hasil jahitan hasil mencuri waktu luang. Beberapa sudah pernah upload di facebook.

Ini yang pertama, upcycle dari karung terigu, hasil pulang kampung dari Jogja. Dua karung aku beli dalam keadaan bersih, dari seorang bapak tua di pasar Beringharjo. Dan dua kain semotif yang aku beli terakhir, seperti menemukan jodohnya.


IDR 100K.
Blue/Gunung Bromo SOLD

Lalu mundur lagi ke belakang. Weekend sewing awal bulan lalu.


Bantal ungu ini... ooohh... I love it so much. Sampai-sampai ngga jadi dijual. Hihihi... Tanggung soalnya. Kalau dijual cuma ada satu. Idenya pas liat-liat ke Muji, mereka jual sarung cushion kotak-kotak bahan flanel dengan detil jahitan pinggir yang unik. Kepikir untuk bikin sendiri, dengan tambahan tag 'hug me' supaya ngga polos-polos amat. Pada akhirnya sempet ke Cipadu dan nemu flanel ungu ini. Sayang cuma ada sepotong. Dan kurang dua centi untuk kubikin sepasang sarung bantal. Jadi ya, ini cuma satu-satunya. Mungkin nanti, kalau ada kain seperti ini lagi, aku akan bikin beberapa.


Dan gantungan kunci ini, recycle dari tapi bagian lengan kemeja yang biasanya untuk mengglung lengan panjang. Ah, ngga tau apa namanya. Yang jelas aku kurang suka kalau kemeja ada tali seperti ini. Aku lepas saja. Dan ternyata bagus juga jadi gantungan kunci. aku punya satu lagi, jadi gantungan flash disk miniku. 


Dan ini, baby bootie untuk baby Nay, cucuku. Hihihi, iya, aku punya cucu dari keponakan Dodi. Bootie ini aku jahit marathon: di Kranji (di sela-sela rapat), di Sawangan, dan di Bandung. Sayangnya, aku ngga nemu toko craft di Bandung untuk beli tali sepatu yang lebih bagus. Ohya, ini polanya aku modifikasi sendiri. Soalnya ngga nemu pola dengan ukuran yang pas.

Itu sudah. Aku kira aku punya lebih banyak lagi. Ternyata cuma ini... 




surat cinta dari Papua

Sore yang panas ketika tiba-tiba sebuah sms masuk. Sms yang ditunggu-tunggu setelah seminggu tak ada kabar. Sms dari Papua. Dari Dodi, yang bersama Oceu melakukan assessment pendidikan di kampung Mumugu, desa Sawaerma, Asmat, Papua.

Jauhnya mungkin bisa dibayangkan. Mereka berangkat Senin malam tanggal 25 Maret lalu dengan rute Jakarta-Denpassar-Makassar-Timika. Mendarat pagi harinya di bandara Timika, kemudian lanjut ke Agats dengan pesawat kecil. Perjalanan dilanjutkan keesokan harinya dengan tiga jam perahu motor ke Sawaerma.

Ada apa di sana?

Mulanya adalah undangan dari Keuskupan Agats untuk merintis pendidikan alternatif di sana. Papua. Yang menurut data, memiliki tingkat buta huruf tertinggi se-Indonesia, sekitar 40%. Dan Mumugu sendiri, menurut data BPS, punya angka buta huruf hingga 75% dari populasi. Tapi itu yang tercatat. Kemungkinan lebih.

"So far so good. Bentar lagi kita punya Sokola Asmat!" Demikian laporan singkat perjalanan seminggu kemarin. Tiba-tiba saja kalimat itu menjadi energi yang membuat sisa sore menjadi begitu indah. Aku seperti terbang membayangkan kemungkinan itu di depan mata. Dadaku seperti dipenuhi bunga. Membuatku terus tersenyum sepanjang hari itu.

Mungkin rasanya seperti dilamar dengan cincin berlian. Itu kalau untuk orang lain. Tapi buatku, tidak ada yang lebih romantis selain membayangkan senyum anak-anak yang akan menjadi murid kita di sana. Membayangkan suara mereka mengeja kata. Membayangkan pondok kayu bertuliskan SOKOLA.

Sudah lama tidak merasakan seperti ini. Terakhir mungkin waktu Dodi ke Halmahera untuk merintis lagi program literasi yang sempat terhenti. Itu sebulan setelah pernikahan kami. Sebagai bonusnya, kami ketemu di Flores, karena kebetulan aku sedang monitoring program di sana. Lalu berakhir di rumah sakit. Malaria.

Tahun ini Dodi kembali lagi ke SOKOLA - dengan segala konsekuensinya untuk rumah tangga kami : ) Tapi perasaan ini, tentu tidak ternilai harganya. Pekerjaan ini, memang bukan cuma milik kami. Tapi perasaan ini sangat personal. Apalagi, hampir selalu Dodi yang menjadi perintis program di lokasi-lokasi baru. Aku selalu bersemangat menunggunya pulang dan bercerita tentang bakal sekolah kami.




Anyway, happy wedding anniversary Aa. Terima kasih untuk sekolah-sekolah kita, untuk senyum anak-anak, dan sapaan hangat warga yang menyambut. I love you and so proud of you!