Rabu, 01 Oktober 2014

becoming Teacher

Aku memang terpikir untuk menjadi guru. Sejak lama. Yang kuingat, di umur empat tahun - ketika itu aku sudah bisa membaca dan menulis, aku suka menjadi guru dalam permainan sekolah-sekolahan bersama tetangga-tetangga sebaya. Membacakan mereka serial Tini atau dongeng dari majalan Bobo. Dan kalau kuingat, cita-cita pertamaku adalah ingin menjadi guru. Setelah itu baru astronot, dokter, wartawan dan lain-lain selayaknya anak-anak...

Saat awal kuliah, aku kembali menulis 'guru' di kolom cita-cita saat mengisi buku angkatan reuni SD. Entah kenapa. Terpikir begitu saja, lalu terlupakan.

Selama kuliah juga, aku berkenalan dengan banyak orang, banyak komunitas dan kegiatan. Belajar hal-hal baru. Pemikiran baru. Sempat punya mimpi untuk membuat semacam TK atau taman bacaan di mana aku bisa membacakan dongeng.

Lalu pada sebuah kuliah sosiologi postmodernisme, dosen menyuruh kami menjawab tiga pertanyaan dalam sehelai kertas. Kalau tidak salah, apa yang paling diinginkan dalam hidup, profesi yang dicita-citakan dan bagaimana sosiologi bisa membantu. Untuk pertanyaan cita-cita, aku menuliskan guru. Masih dengan entah kenapa.

Tapi kata-kata seperti mantra, ia bekerja di luar kesadaran kita. Aku tidak merasa pernah sangat mengejar dan keras kepala untuk menjadi guru seperti ketika aku ingin menjadi wartawan dan merintis jalan itu hingga benar-benar menjadi wartawan. Tiba-tiba saja aku tersadar, aku sudah menjadi guru.





Bukan hanya satu, tapi SOKOLA sudah meninggalkan jejak di 14 tempat, 14 komunitas dengan karakter dan persoalan yang berbeda. Bukan hanya 10, 20, 100 atau 200. Kami punya lebih dari 10.000 penerima manfaat. Melebihi apa yang pernah kuimpikan.

SOKOLA telah melewati 11 tahun. Pada rapat di malam 30 September 2003 yang kami sepakati sebagai hari berdirinya SOKOLA, aku sama sekali tidak membayangkan kami akan sampai di titik ini. Penuh syukur. Semoga Tuhan senantiasa melindungi kami, memberikan kesehatan dan keselamatan kepada guru-guru kami; menjaga semangat dan cinta kami dalam bekerja.

Selamat ulang tahun SOKOLA. Besarlah dalam kesederhanaan.
30 September 2003 - 30 September 2014 

Senin, 04 Agustus 2014

The Award

Ini tentang Butet, yang pertama kali kukenal sekitar 11 tahun lalu saat aku pertama kali menginjakkan kaki ke Jambi. Setelah itu kami berbagi kamar. Setelah itu, kami banyak berdiskusi juga dengan Dodi, Oceu dan Willy. Setelah itu kami mendirikan SOKOLA, tepatnya pada 30 September 2003. Setelah itu, kami selalu bertemu.


30 Juli kemarin, pada malam setelah film Sokola Rimba ditayangkan di televisi untuk pertama kalinya, kami menerima kabar luar biasa: Butet Manurung terpilih sebagai salah satu penerima penghargaan Ramon Magsaysay 2014. Ini bukan saja kabar baik untuk Butet pribadi, tetapi juga kami semua di SOKOLA.

Kenapa Butet? Kenapa bukan kami yang juga mendirikan SOKOLA? Atau bahkan guru-guru lain yang pernah mengajar Orang Rimba di Hutan Bukit Duabelas? Ada juga yang bertanya seperti itu. Well, semakin tinggi pohon, semakin kencang angin. Tapi yang pasti, mereka tidak mengenal Butet dan bagaimana ia bekerja: mengoperasikan segenap intuisi untuk memahami komunitas, untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhannya menghadapi perubahan, dan untuk bertahan hidup di hutan. Dan paling penting adalah keberpihakan. 

Tidak banyak orang yang mampu menghabiskan bertahun-tahun waktunya dengan tinggal di hutan, bahkan ada masanya ia ke rimba dengan biaya sendiri dan harus survival di rimba. Bukan karena tuntutan pekerjaan, atau gaji di akhir bulan. Dan aku masih ingat bagaimana matanya selalu berbinar-binar dalam setiap pertemuan dengan anak-anak di rimba. Lebih dari itu, 14 tahun membuktikan konsistensinya, bahkan tidak hanya di rimba. Melalui SOKOLA kami menjangkau komunitas buta huruf lainnya di Indonesia. 

Aku mengenalnya sebagai orang yang berkemauan keras dan tidak punya kata lelah dalam kamusnya. Dengan energi yang sangat besar, Butet yang kukenal tidak akan berhenti berusaha hingga tetes keringat terakhir. Sering sepak terjangnya membuatku terengah-engah mengikuti. Tapi ya biarin aja, karakter itulah yang membentuk organisasi kami. Karakter itulah yang mengantarnya mendapat penghargaan. You deserve it!

Tak kalah menggembirakan adalah kabar kehamilannya yang sekarang menginjak usia tujuh bulan. Dan kemarin, Butet terbang ke Canberra untuk selanjutnya melahirkan di sana. Dan tidak ada yang lebih baik yang bisa kulakukan selain menjahitkan sesuatu untuk menyambut bayi yang akan lahir dari rahim ibu yang keren. 

'

Tema ini muncul dengan tidak sengaja. Kain-kainnya dibeli di waktu yang berbeda dan tiba-tiba saja cocok untuk jahitan ini.



Temanya hutan. Hijau. Dan kebetulan aku memang suka mengumpulkan kain bermotif binatang dan pohon atau daun.


Fire-truck dijahitkan untuk mengingatkan ayahnya yang seorang pemadam kebakaran.



Selamat jalan sista, semoga sehat dan lancar persalinannya. Semoga kita ketemu di Manila akhir bulan ini. Very proud of you!

best things in life

Sudah lama menunda untuk menulis dengan judul ini. Tidak ingin mendramatisir, tapi harus diakui perasaanku kadang-kadang (catat, ya: kadang-kadang saja) masih 'drama'. Ada momen-momen yang membuat aku teringat, dan sedih. Tapi pada akhirnya, aku bersyukur bahwa I've never been that worst. Duniaku terlalu indah. Terima kasih, Tuhan.

Salah satu momen terbaik yang pernah aku punya adalah menyadari bahwa aku hamil bersamaan dengan beberapa sahabat terdekat. Kegembiraannya berlipat-lipat. Maka, yang terburuk adalah ketika aku harus kehilangan hal terbaik itu.

Aku tidak ingin bercerita momen-momen kecil yang membuat aku kembali sedih, atau prosesku untuk memaknai kejadian ini. Tetapi satu hal yang ingin aku ingat bahwa di saat terburukku, aku masih dikelilingi hal-hal terbaik. Hari itu, entah kenapa banyak kabar dari rimba yang membuatku senyum-senyum sendiri. Ada semangat yang terkirim dari sana, menjadi energi buatku, menjadi pengingat betapa aku punya hal-hal baik yang membuatku tetap bersyukur.

Hal-hal baik tidak melulu sesuatu yang besar. Kadang-kadang sederhana saja. Sesederhana nastar bikinan mama, keponakan yang menyambut riang, menyelesaikan season terakhir How I Met Your Mother, menghabiskan waktu bersama adik, atau memeluk suamiku dari boncengan belakang motor sambil jalan-jalan keliling Jogja. Mudik.

Dan ini adalah oleh-oleh lebaranku kemarin. Buku+pola, kain, juga jahitan untuk Beia.






Selamat Lebaran semua. Mohon maaf lahir dan batin.

Jumat, 13 Juni 2014

weekend sewing: I can't wait

Tidak bisa menunggu. Tadi malam, pulang kantor sekitar jam 11 malam langsung membongkar kain dan peralatan menjahit. Untung siangnya sempat mampir toko jahitan untuk beli ring besi, resleting, dan benang. Pas sekali dengan sampainya kiriman kain yang aku beli dari toko online di facebook. Apalagi yang ditunggu.

Oh ya, ini karena mulai bulan Juni aku ikut kelas yoga. Sebetulnya matras disediakan di sana, tapi begitu ikut kelas yoga, isi kepalaku seputar apa yang bisa kujahit untuk ini. Maka sejujurnya, buru-buru beli matral adalah supaya aku bisa bikin tasnya... Hehehe...


Foto di atas, itu versi tanpa pouch. Jadi sebetulnya bisa dipakai strap-nya aja. Ehm, kainnya cakep, ya...  Katun jepang. Sayang gambar polanya kebalik, jadi bunganya ngadep bawah... Hahaha... Sebetulnya udah sadar sebelum menjahit, tapi karena udah keburu ngantuk dan pengen cepet-cepet liat hasilnya, ya sudahlah... Tetep keren kok...


Bagian pouch, bisa dilepas-pasang. Sengaja, meskipun ngga punya alasan pasti kenapanya. Polanya kubikin sendiri, karena sejauh aku browsing, ngga nemu tutorial yoga mat bag/strap model begini. Idenya dari produk yoga, tapi bukan yang handmade. Karena pola sendiri, dan belum pinter teknik bikin pouch yang bener, jujur aja, dalemnya acak adut.


Karena ngantuk dan buru-buru itu juga ada beberapa kesalahan kecil lain. Misalnya, lupa jahit bagian luar zipper untuk 'ngunci' kainnya. Jadilah pakai jelujur manual, sekalian pakai benang sulam warna merah. Juga talinya kepanjangan karena ngga diukur dulu. Akhirnya aku jahit lipat aja. Sempet juga salah jahit strap, kainnya kebalik. Karena males ndedel, jadi gunting kain lagi...


Dan more happy karena ternyata botol air bisa masuk juga. Praktis. Karena memang cuma ini yang aku bawa ke tempat yoga: matras, botol air, handuk kecil, hp dan dompet receh.



Jahitan ini diselesaikan pukul 4.00 pagi dengan mata setengah merem. Dan, selalu setelah begadang, menjelang pagi pasti bersin-bersin. Sama aja ngga tidur. Ya sudah, foto-foto aja... 

I am happy!

weekend sewing: move on

Ini late post. Sekitar tiga minggu yang lalu. Menjahit selalu membuatku bahagia. Ada binar-binar di mata, kata Dodi. Juga ide-ide dalam kepala yang terus menggelinding. Menyenangkan bisa menuangkan ide, pada saat ia muncul. Kebetulan, selain weekend, di minggu itu ada dua tanggal merah. Memperpanjang waktu menjahitku.

Pertama adalah apron, kado ulang tahun untuk Iki. Sebetulnya ini sudah kujanjikan - ke ibunya tentu - lebih dari dua tahun lalu. Iki suka masak. Dari dua tahun lalu, hingga sekarang, masih suka memasak. Makanya aku dengan senang hati menjahitkan apron ini.




Apronnya kubawa di perayaan ulang tahun bersama beberapa teman SOKOLA sekaligus house warming rumah Hanoy di Cibitung. Beberapa kali setiap bulan Mei, ada perayaan ulang tahun bersama. Sponsornya bergantian. Ulang tahun mungkin bukan yang utama, tetapi menjadi alasan kami untuk berkumpul. Seperti keluarga.

Dan quilt tote bag ini, idenya muncul tiba-tiba. Langsung dijahit hari itu juga. Aku penasaran teknik quilt, menggabungkan tiga material. Aku pakai busa untuk bagian tengahnya. Efek menggelembung ini yang aku cari.


Agak mengherankan karena sebelumnya aku ngga suka quilt. Setidaknya dari yang pernah aku lihat selama ini, hampir semua bunga-bunga dengan warna lembut. Atau penggunaan busanya kadang malah bikin jelek. Makanya aku penasaran untuk bikin quilt bag, tapi sesuai seleraku. Aku cukup puas.



Selain apron dan quilt bag, aku merampungkan menggabungkan selimut bayi yang aku jahit beberapa minggu sebelumnya. Lalu juga muncul ide spontan untuk membuat selimut bayi (agak besar ukurannya, mungkin bisa dipakai sampai balita) hijau ini setelah menemukan kain katun hijau dengan empat motif polka dan gingham check. Menggabungkan dengan kain-kain lama yang sudah ada. Bahagia rasanya kalau kain-kain lama akhirnya menemukan jodohnya dalam satu jahitan yang keren.


Dua selimut itu masih membutuhkan finishing manual, hand stitch. Nanti kalau selesai, pasti aku posting.

Kamis, 15 Mei 2014

I'm not that okay...

satu persatu
jejak-jejak menghilang lalu sepi sama sekali
seperti langit yang kuingat malam itu
saat aku terbangun pada paginya
dan semuanya terasa seperti mimpi.

I am not that okay. It is harder than I thought. I am just trying to always be possitive.

Selasa, 29 April 2014

Satu Bintang di Langit Kelam

Angkasa tanpa pesan, merengkuh smakin dalam
Berselimut debu waktu ku menanti cemas
Kau datang dengan sederhana, satu bintang di langit kelam
...
Khayalku terbuai jauh
Pelita kecilmu mengalir pelan dan aku terbenam

(RSD-Satu Bintang di Langit Kelam)

Aku suka memandang langit. Pernah dulu, suatu waktu yang aku ingat di Jambi dalam perjalanan di boncengan motor menuju desa-desa di tepian hutan Bukit Duabelas. Aku memandangi langit terik siang itu dengan senyum lebar dan merasa Tuhan sedang mengedip kepadaku. Kubisikkan terima kasih, karena Ia memberiku pacar yang kemudian menjadi suamiku.

Lain waktu, sering kali aku mencari-cari bintang layang-layang di langit selatan. Bukan apa-apa, cuma rasi selatan itulah yang aku ingat. Jakarta nyaris tidak pernah punya bintang. Langitnya selalu kemerahan. Jelek dan tidak menghibur orang-orangnya yang kelelahan. Kemewahan bintang selalu kudapatkan di Jambi, terutama di rimba sekalipun hanya mengintip dari balik rimbun dedaunan. Di Sawangan, lumayanlah. Masih bisa menikmati malam-malam berbintang. Tetapi tidak malam itu.

Aku ingat sekali malam itu, ketika hari baru saja dimulai. 27 April 2014. Dalam perjalan di boncengan motor yang melaju perlahan, aku melihat langit. Sepi. Tidak ada bintang sama sekali. Lalu aku ingat kalau siang hari tadi aku menyulam bintang merah sebagai aksen pada sebuah sarung bantal kecil untuknya. Setidaknya aku punya bintang hari itu. Bintang yang kusulam dengan doa dalam setiap tarikan benangnya. Juga aku mengingat bahwa tadi aku tertidur dengan buku doa yang masih di tangan, serta menyempatkan sholat sunat sebelum beranjak menuju rumah sakit. Aku siap menghadapi yang terburuk. 


Aku bisikkan terima kasih melalui langit, atas banyak nikmat dan pelajaran yang Tuhan berikan pada minggu-minggu terakhir ini. Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Kuikhlaskan ia kembali kepda-Mu, ya Allah. 

Kuselipkan pula doa untuk ibuku. Aku sangat yakin, dari ia lah semua kekuatan ini berasal. 

Selasa, 22 April 2014

anakku

Tumbuh, tumbuhlah anakku
Raihlah cita-citamu
Jangan pernah engkau ragu, sayang
Doaku slalu bersamamu
Membuat aman di hidupmu

(Anakku, Vina Panduwinata)

Anakku,

Terima kasih telah menemaniku minggu-minggu terakhir ini. Membuat kami begitu berbahagia. Baru aku mengerti mengapa dinamakan rahim, tempatmu saat ini, tempatmu terlindungi oleh kasih sayang.

Aku pernah membaca Harry Potter - nanti kamu bisa membacanya - dan bagian terbaik yang diceritakan di sana, bahwa kasih sayang ibu adalah sihir paling mandraguna untuk melindungi anaknya. Sekalipun ini cerita khayal, tetapi siapa yang bisa membantahnya?

Harapan kami untuk melihatmu lahir, tumbuh dan dewasa. Kita sama-sama berdoa ya, dan saling menguatkan. 

Peluk cium dari ibu.

Minggu, 23 Maret 2014

welcome on board!

Our dear baby,

Kita akan punya petualangan bersama - dalam perutku - hingga sekitar 30 minggu ke depan. Petualangan, yang aku belum bisa katakan seperti apa rasanya. Tetapi, makanya aku namakan petualangan, pasti akan seru!

Kita sudah melewati beberapa minggu dengan baik. Dan yang istimewa, kamu sudah merasakan kegembiraan rimba: bau dedaunan dan udara segar yang kuhirup, berenang-renang di sungai Makekal, nyanyian serangga dan burung-burung, kehangatan obrolan orang-orang di sana, mendengar huruf demi huruf dieja atau komat-kamit muridku yang menghitung perkalian dengan wajah kebingungan. Rimba memang selalu hangat dan menyenangkan.  

Tetapi sisa petualangan kita mungkin akan lebih banyak di Jakarta, Sawangan - rumah kita, juga mungkin satu kali ke Jogja dan Bandung saat lebaran nanti. Di Jakarta, aku tidak bisa menjanjikan kegembiraan yang sama seperti di rimba. Kamu sudah rasakan, bukan? Berdiri berdesakan di kereta, serta jalan yang macet dan berasap. Tidak pernah santai, orang Jakarta ini. Beruntung aku bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan di rumah, tanpa harus menghabiskan waktu 3-4 jam di perjalanan ke kantor setiap hari.

Tetaplah kuat dan bergembira, sayang. Aku akan menjagamu dan mengusahakan akan menjadi mudah dan nyaman bagimu. Terima kasih karena telah datang dan menemani petualangan kami. Dari berdua, jadi bertiga. Mulai sekarang dan seterusnya, kita adalah tim! I love you.

Sabtu, 01 Maret 2014

perjalanan sepucuk surat

Jakarta, 21 Agustus 2013. Sebuah sampul surat berstampel post Tembilanan tahun 1983 tahu-tahu diposting oleh Mas Sinang di timeline facebook-ku. Tertulis jelas disitu namaku sebagai tujuan pengiriman, dengan alamat Notoprajan - rumah kakek/nenek di Jogja.


Di timeline lain, Mas Sinang mem-posting bagian belakang sampul surat berwarna biru itu. Masih tertutup rapat dengan sebuah stiker label nama melekat, nama pengirimnya: Yunoke Rahma Andayani. Mba Oke, begitu kami memanggilnya. Kakak sepupuku yang saat itu tinggal di Tembilahan, Riau.


Surat itu tidak pernah kuketahui hingga hari itu, 30 tahun sejak terkirim. Mungkin Mba Oke juga lupa menanyakannya. Mas Sinang yang menemukannya waktu beres-beres rumah Notoprajan. Rumah keluarga itu memang jarang kami kunjungi sejak Pakde dan Bude (begitu kami memanggil kakek dan nenek kami) tinggal di Jakarta. Tapi dalam ingatanku, masih terekam saat beberapa kali liburan panjang, Mba Oke dan kakaknya Mba Ike 'dikirim' ke Jogja dan biasanya aku dan Mas Sinang pun akan tinggal di Notoprajan untuk menghabiskan waktu bersama.

Banyak sekali yang terjadi selama 30 tahun itu. Kegembiraan kami di rumah Notoprajan saat bermain hantu-hantuan, salon-salonan, naik becak bareng mengantarnya ke tempat les orgen, atau pergi ke toko Roma dan Nagamas untuk membeli pita rambut. Kami juga dibelikan baju lebaran dan dipanggilkan guru untuk les menari. Itu saat liburan di Notoprajan: rumah besar yang cukup luas untuk kami berlari-larian, rumah keluarga di mana kami menemukan barang-barang lama milik ibu, bude dan tante kami lalu menggunakannya untuk bermain.

Bermain dengan Mba Oke dan Mba Ike, tentu saja memberiku pengalaman yang berbeda dengan menghabiskan waktu dengan Mas Sinang. Dengan dua kakak perempuan, kami lebih banyak bermain saling mendandani, membuat pita-pita rambut, dan sebagainya.

Kurasa setelah liburan pertama di Notoprajan itulah kita saling berkirim surat. Umurku masih lima tahun tapi sudah bisa membaca dan menulis. Dan Mba Oke yang hanya tiga tahun lebih tua, dengan segera kujadikan role modelku. Ohya, aku juga sempat memanggilkan "Enci" untuk alasan yang aku sudah lupa.


Saat SMP, Mba Oke sekeluarga pindah ke Jakarta. Kepindahan ini membuat jarak kami semakin dekat. Setidaknya setiap lebaran, kami pasti bertemu di Jakarta. Di masa-masa puberku, Mba Oke benar-benar menjadi role model yang banyak kutiru. Mulai dari gaya berpakaian, kesukaannya menjahit dan menggambar, sampai mengidolakan NKOTB!

Sekali dua kali, Mba Oke juga ke Jogja lagi. Aku ingat, kami pernah bersepeda bersama ke rumah sepupu kami yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumahku. Waktu itu jaman kami masih ngefans NKOTB dan memasang poster Jonathan Knight di kamar. Juga saat Mba Oke memarahi preman kelas kakap yang mabok dan menyerempet mobil yang dibawanya suatu malam di Jogja, kalau tidak salah tahun 1995. "Ini mobil Papa saya. Sekarang Bapak ikut saya pulang dan bicara dengan Papa saya!" begitu ujarnya dengan lantang dan berani. Dan aku ingat sekali malam itu, kami susah payah menggiring dia bermobil menuju rumah. Setiap preman itu keluar arah, Mba Oke mengklakson keras-keras.

Keberanian Mba Oke malam itulah yang kembali kutemui empat tahun terakhir ini saat ia berjuang melawan kanker yang menggerogoti tubuhnya.

Aku mulai tinggal di Jakarta sejak tahun 2004 untuk kuliah dan bekerja untuk SOKOLA. Dan kami kembali dekat. Apalagi, Nobi dan Noji sekolah di deket rumah Cipulir, rumah nenek yang kutinggali saat itu. Hampir setiap hari Mba Oke jemput anak-anak ke Cipulir dan kami, biasa, ngobrolin diskon sini diskon sana, baju atau kain-kain lucu.

Aku menikah pada April 2009 dan bersama Dodi tinggal di Cipulir. Saat itu, aku mulai senang menjahit lagi dan dengan Mba Oke, pembicaraan kami seputar Mayestik dan Cipadu. Mba Oke yang pertama kali membawa dan membuatku ketagihan belanja kain ke Cipadu. Sampai pada akhir tahun 2009, Mba Oke tiba-tiba divonis kanker serviks dan harus dioperasi. Kusebut tiba-tiba karena memang sebelumnya nyaris tidak ada tanda-tanda sakit sekalipun. Mba Oke pap smear secara berkala. Lalu, tahu-tahu, kankernya sudah stadium dua.

Perjuangan dimulai.


Ini sarung bantal yang kujahitkan untuknya, Februari 2010. Tulisan yang tersulam itu kuambil dari status facebooknya: semakin kuat, semakin sehat. Dua hal itu pula yang menjadi doaku untuknya sejak hari itu.

Setelah operasi, Mba Oke menjalani serangkaian terapi radiasi. Lalu semuanya terlihat baik-baik saja. Kami masih sempat jalan ke Cipadu, masih ngerumpiin jahitan, dan banyak hal lain. Juga Mba Oke masih sempet nonton NKOTB yang konser ke Jakarta. What a dream comes true! Sampai pada suatu hari di bulan September 2012, setelah PET scan yang menyatakan bahwa kanker sudah menyebar ke kelenjar getah bening. Dan lima bulan selanjutnya adalah serangkaian kemoterapi yang harus dijalani.

Terus terang, waktu itu aku bingung bagaimana harus bersikap dan menyapanya. Apakah harus sedih, menghibur, atau apa. Tapi Mba Oke membuat kami semua nyaman di dekatnya ataupun saat ngobrol lewat whatsapp atau facebook. Tidak banyak yang berubah dari obrolan kami saat itu, kecuali saat fisiknya betul-betul ngga kuat. Dan tak sekalipun aku mendengar ia mengeluh. Tidak sekalipun. Padahal kemo, katanya terasa seperti badan dipotong-potong.

Pun berbulan-bulan setelah kemo, saat kami melihat kondisinya mulai menurun pelan-pelan, Mba Oke selalu tersenyum dan bersemangat. Ia masih mengerjakan proyeknya dari rumah, memantau perkembangan anak-anak, meminum obat dan mengatasi rasa sakitnya dengan dengan iklas, bahkan menunaikan ibadah haji tahun lalu dan pulang dengan gembira, membagikan kami oleh-oleh gamis yang dibelinya di sana. Sempurna.


***

Sepagi ini menghitung kenangan
Memungut setiap jejak senyuman yang kau tinggalkan

Hanyut bersama waktu, tak terhentikan

Jakarta, Jumat 28 Februari 2014. Aku ada di sampingnya - bersama dengan suaminya, orang tua dan beberapa saudara dekat, menunggu dan mendoakannya sampai nafasnya hilang pada saat menjelang adzan dhuhur. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Pada saat itu juga aku melihat wajahnya begitu tenang dan cantik. Bibirnya tersenyum. Sudah tidak merasakan sakit lagi. Dan kita semua setuju, bahwa segala sesuatunya dimudahkan hingga saat pemakaman sore hari.

***

Kuanggap tulisan ini sebagai balasan surat yang dikirim lebih dari 30 tahun lalu. Sampai nafas terakhir, aku masih belajar darinya, menjadikannya role model. Untuk keimanan, keberanian, ketegaran dan semangat juangnya.

Sekalian aku membuat pengakuan, bahwa beberapa kali aku menangis di kamar mandi di rumahnya saat menjenguknya, atau saat perjalanan pulang dari sana. Aku tidak setegar ia.

Aku ingat, malam tanggal 20 Februari, malam terakhir kunjunganku di rimba. Aku tidur nyenyak di kemalomon beralas gelogor di bukit Polai setelah makan malam yang nikmat masakan Induk Menosur. Aku bermimpi Mba Oke tampak sehat dan cantik, memakai sweater bulu-bulu berwarna putih dengan aksen pink. Ia tersenyum. Cantik sekali. Secantik pada hari ia dimakamkan.

Rest in peace, my dear sister.
Allahummaghfirlaha warhamha waafiha wafuanha.

Syawal 2013
Risma, Mba Oke, Tanya, Aku, dan Mba Ike