Minggu, 13 November 2016

Rinjani.

"Setidaknya satu kali dalam hidupku, aku pernah naik gunung."

Begitu aku berkata dalam hati, sejak awal perjalanan, setiap kali ngos-ngosan mendaki, bahkan menjelang sampai ke puncak Plawangan di ketinggian 2.400 mdpl. Sungguh tidak pernah terbayang kalau aku akhirnya mendaki gunung pertamaku di usia 38 tahun, - dengan uban dan kerut sekitar mata, dengkul berbunyi dan sakit pinggang. Mendaki ya, maksudnya jalan menuju puncak. Kalau ke gunung saja, mungkin ke Bromo atau Kelimutu bisa masuk hitungan.



Meskipun biasa ke rimba, tentu naik gunung ngga bisa disamakan. Ke rimba, jalannya relatif datar tanpa tanjakan berarti, di dataran rendah artinya ngga dingin, bahkan ketika berjalan kaki empat hari ke Kejasung, aku ngga terlalu keteteran kecuali melewati titian kayu. Keseimbangan memang masalahku. Dan ke rimba, kurasa ngga bisa dibilang camping tapi ber-rumah di sana. Maka pengalaman kemarin, totally different dengan rimba!

Sebetulnya aku ngga terlalu ragu-ragu waktu Dodi mengajak ke Rinjani sepulang ia dari penelitian di desa Aik Berik. Di sana, baru diresmikan rute pendakian menuju Danau Segara Anak. Rute ini memang bukan untuk menuju puncak karena puncak Rinjani (3.726 mdpl) berada di sisi utara danau, sementara Plawangan Aik Berik di sisi selatannya. Waktu aku mengiyakan, itu juga karena gunungnya ada di Lombok. Jadi bisa sambil jalan-jalan ala turis di sana. Kemudian aku menemukan artikel yang mengatakan bahwa Aik Berik adalah jalur pendakian paling landai dengan pemandangan paing indah. Ini sungguh kabar baik buatku. Tidak perlu menempuh "tujuh bukit penyesalan" yang legendaris itu.


Selain itu, sudah hampir dua tahun belakangan ini aku rutin yoga dan kurasa cukup intensif. Yoga di rumah saja, dari televisi atau youtube, sekadar melatih otot-otot.  Juga renang sesekali. Dan sungguh, aku menyesal kenapa baru memulainya dua tahun terakhir ini. Aku baru merasakan efek berkeringat yang menyenangkan dari olahraga. Maka, kalau pendakian ini dilakukan lima tahun yang lalu, sekalipun aku lebih muda tetapi aku tidak yakin bisa melakukannya sebaik sekarang.

Saat akhirnya memutuskan untuk ke Rinjani, sekitar dua minggu lebih sebelum pendakian, aku mulai giat yoga dengan gerakan-gerakan yang mendukung kekuatan kaki, dengkul, dan sebagainya yang kurasa perlu. Aku punya unduhan youtube gerakan yoga untuk persiapan mendaki gunung, dan aku mengulang gerakan itu hampir setiap hari sampai sebelum berangkat. Selain itu juga sempat berenang dua kali. Persiapan lain juga cukup menyenangkan, belanja beberapa perlengkapan misalnya ;-)



Satu hal yang paling aku senangi dari perjalanan kemarin adalah kegembiraan yang menyertainya. Dari awal juga sudah berjanji ke diri sendiri untuk tidak mengeluh dan tidak cemberut di perjalanan. Meskipun ngos-ngosan di setiap tanjakan, hampir selalu nunduk konsentrasi melihat langkah, tapi syukurlah selalu ketawa. Juga karena tanpa sinyal hp dan televisi, jadi waktuku sepenuhnya dihabiskan dengan Dodi tanpa gangguan apapun. Apalagi kami memakai jasa porter yang tidak hanya membawakan ransel, tetapi juga masak dan mendirikan tenda. Maka aku dan Dodi kerjaannya cuma jalan, makan, ngobrol dan tidur, begitu terus setiap hari. Sungguh menyenangkan.



Dan hiburan sepanjang perjalan adalah suguhan pemandangan cantik: punggungan bukit, savana, awan, air terjun, kabut dan angin yang ributnya seperti sirkuit F1. Yang terakhir tentu tidak cantik, bahkan bikin aku mati gaya. Betul-betul tidak bosan dengan hanya duduk sambil memanjakan mata melihat semua itu. Apalagi saat kami sampai di Plawangan dengan pemandangan danau Segara Anak dan Gunung Barujari di tengahnya. Subhanallah.


Aku menemukan diriku yang berbeda di sana. Indit yang menikmati ngga mandi dan ngga keramas sampai berhari-hari. Asal tahu, aku keramas setiap hari. Tidak bisa tidak.

Kegembiraan gunung kami bawa sampai pulang. Ceritanya tidak berhenti dan bolak-balik buka hp atau laptop untuk lihat foto-foto. Dan kesimpulan yang pasti, aku mau lebih sering olahraga.