Minggu, 01 November 2015

jahitan sendiri

Kenapa aku ingin menjahit baju sendiri? Karena seringnya baju yang aku ingini tidak ada di toko. Kalaupun ada, biasanya yang harganya mahal. Maklum, selera tinggi tidak dibarengi income yang setara... hahaha...

Tapi itulah seninya. Mencari apa yang sesungguhnya aku, bukan sekadar memilih yang paling cocok yang disediakan oleh pasar. Dan batik, mungkin yang paling sering aku jahit. Aku sangat suka batik. Tapi jarang sekali menemukan baju batik yang pas dengan seleraku. Lagi-lagi, kalau ada, biasanya mahal. 

Nah, batik yang aku jahit ini punya tiga alasan yang bikin aku bahagia berlipat-lipat. Pertama, bahwa ini batik tulis halus. Kainnya pun halus sekali. Jarang sekali pegang yang seperti ini. Kedua, batik ini punya motif simetris karena sebetulnya ini dibuat dalam bentuk pola kemeja. Maka aku tinggal menyesuaikan polanya saja. Dan hal terakhir yang melengkapi kebahagiaan adalah aku tidak membeli kain ini... Salah satu keuntungan (sempat) tinggal di rumah nenek adalah banyak barang-barang yang ditinggalkan pemiliknya. Dan saat pindahan, barang-barang tak bertuan baru ketahuan. Sebagai penghuni terakhir, harta karunnya jatuh ke tanganku ; )


Debutan pertama di Singapore, awal September lalu saat kami (aku dan Butet) diundang mewakili Sokola mempresentasikan kerja kami di UniSIM dan SMU. I feel pretty in batik!


Sebelum menjahit atasan itu, sebetulnya aku juga menjahit rok lilit - wrap skirt dari kain batik klasik motif udan liris. Batiknya batik cap. Dan ya, setelah pegang batik tulis, maka batik cap seperti tidak ada apa-apanya... hehehe... Aku kasih nilai tujuh untuk jahitan ini. Agak kurang puas. Entah apanya.


Aku memang sedang suka dan punya ingin tahu yang besar dengan motif-motif batik klasik jogja. Merasa perlu untuk tahu budaya leluhur tempat asalku...


Jahitan terakhir, dua hari yang lalu. Akhirnya bikin kimono top setelah lama mempertimbangkan dan mencari pola yang paling oke menurutku. Pilihan jatuh pada kain linen berserat kasar yang dibeli awal tahun ini di Cipadu - yang aku hampir lupa.


Maafkan cermin kamar mandi yang kotor itu. Tapi melihat hasilnya rasanya cukup puas. Dari contekan terbaik yang aku dapat di pinterest, masih aku modifikasi lagi, disesuaikan ama ukuran badan dan selera. Aku tambahkan pinggiran di bagian depan, jadi bukan hanya dikelim. Biar mirip kimono beneran. 



Hasilnya? Aku suka sekali! Semacam mencoba gaya baru, tanpa merasa asing.

Selasa, 04 Agustus 2015

Menjahit Korden ala Penjahit Pemalas

Memasuki rumah baru. Yang pertama terpikir adalah jendela yang besar-besar, terutama di kamar tidur yang artinya wajib pakai korden. Wajib dan segera. Maka sebelum pindah, aku sudah mencari berbagai referensi tentang korden.

Untungnya sekarang rel dan perangkat korden tidak serumit jaman dulu. Kalau ingat rumah-rumah dulu, tipikalnya adalah dua lapis korden, masing-masing vitrase yang tipis dan tembus pandang dan baru tirai tebalnya. Belum lagi rel yang rumit, kordennya juga perlu dijahit khusus, dipasang besi bercabang tiga untuk pengaitnya, juga lipatannya yang mesti mati sehingga menghasilkan zig-zag yang rapi.

Tapi sekarang justru lebih sederhana. Dulu saja, jaman kuliah, aku membuat sendiri rel korden kamarku dengan memasang besi pengait (yang bentuknya seperti tanda tanya itu) di dua tepi kusen jendela, lalu dipasang kayu bulat yang dibeli di toko kayu sekalian minta mereka potong sesuai ukuran. Nah, sekarang juga banyak penjual rel korden yang model dasarnya semacam itu. Bentuknya macam-macam. Hanya saja, kebanyakan aku tidak suka dengan modelnya yang penuh ornamen. Pilihan warnanya juga keemasan dan keperakan.

Aku sungguh beruntung, IKEA baru saja membuka tokonya di Jakarta (eh, Serpong ding). Dan IKEA punya berbagai model rel korden yang simpel dan terjangkau. Aku juga segera browsing korden di website IKEA. Seperti biasanya, IKEA menawarkan range harga yang beragam. Harga termurahnya bisa dibilang terjangkau. Tapi korden itu masalah kain. Dan aku, di mana-mana selalu kalau megang kain, pasti yang harganya mahal. Seperti di toko IKEA, tanganku terlanjur memegang korden yang harganya satu juta kurang seribu rupiah. Kalau sudah begitu, korden yang seharga 200an ribu langsung bikin ilfil.

Korden yang kupegang berwarna abu-abu berbahan linen! I always fall in love with linen. Tapi harga segitu ngga masuk budget, dan ngga masuk akal buatku. Jadi mending mundur aja. Bye bye korden linen…

Akhirnya memutuskan untuk mencari bahan linen (well, linen look, campuran poly alias kw) yang murah. Di mana? Tentu cipadu tempatnya. Sukur-sukur nemu linen beneran sisa industri garmen dengan harga miring. Tapi jalan menuju Cipadu sungguh tidak bersahabat belakangan ini, sejak pembangunan jalan layang ke Ciledug. Maka aku putar halauan ke Mayestik karena macetnya pun sama tidak masuk akalnya dengan harga korden linen di IKEA.

Setelah keluar masuk toko, ternyata di toko langganan lah akhirnya mendapatkan kain linen-look dengan harga termurah. Meskipun sempet pengen linen beneran yang harganya tiga kali lipat, tapi aku tidak tergoda. Kalau cuma satu-dua meter sih oke. Untuk jendela kamarku, aku butuh lima meter lebih!

Tips dari aku, untuk menjahit korden pilihlah motif kotak-kotak untuk menghemat waktu. Pertama, ngga perlu bikin garis untuk paduan menggunting bahan. Selian itu, pas bikin lipatannya juga ngga kuatir bakal miring. Ngga butuh penggaris! Aku bahkan mengukur panjangnya dengan menghitung ubin di mana kain digelar, lalu mencari garis terdekat untuk lipatan atau potong bahan.

Kain linen-look aku pakai untuk jendela kamar yang berukuran cukup besar. Butuh dua lembar korden yang masing-masing tingginya 2,4 meter. Lebar kainnya aku pakai semua, jadi tidak perlu memotong lagi. Justru bagus kalau kelebihan. Saat ditutup, kordennya masih akan bergelombang, tidak rata.




Untuk lubang rel-nya, aku menjahitkan pita-pita di bagian atas belakang. Hasilnya sangat menyenangkan. Sampai sekarang aku masih terus memandangi korden itu dengan bangga. Puas rasanya melihat korden itu bergelombang sempurna. Beda tipis dari korden IKEA yang harga sejuta :D



Korden kedua yang kujahit adalah untuk ruang kerja Dodi. Lebar jendelanya hanya 90cm. Dodi setuju kordennya flanel kotak-kotak. Yes! Cuma semangat menjahit ini yang susah. Aku paling malas untuk mengulang membuat jahitan yang sama. Apalagi cuma lurus-lurus dan besar. Itu membosankan. Penyakit pemalas!

Untung kali ini motif kotak-kotaknya lebih jelas. Mengurangi tingkat kesulitan. Dan karena malas menjahit pita-pitanya, aku putuskan untuk memakai ring yang sudah ada penjepitnya dari IKEA. Jadi, aku juma perlu menjahit empat sisinya saja... Hehehe…



Kali ini ternyata kordennya kepanjangan sekitar 10cm karena aku lupa ukuran jendelanya. Saking malasnya, korden baru kupotong hari ini - setelah lebih dari sebulan terpasang, mumpung mesin jahit sedang terbuka setelah kemarin aku menjahit bantal untuk Fazil. Itupun aku terlalu malas untuk mengganti benangnya. Padahal yang dulu juga malas ganti benang coklas sehabis menjahit korden kamar.


Bandingkan tingkat kesulitannya dengan yang di bawah ini. Kainnya dua macam disambung-sambung. Lubang relnya juga dijahit dari kain yang sama.


Ini korden ukuran jendela rumah sebelum renovasi. Kupasang di sini karena sudah malas menjahit korden lagi, meskipun agak risi melihat bagian bawahnya yang menggantung. Tapi ya, sudahlah. Kapan-kapan lagi menjahit korden. Hahaha!

Minggu, 02 Agustus 2015

monster gigi satu: no rules!

Kalau asam lambung sudah naik dan berasa mual, leher kaku, dan mulai ngomel-ngomel sendiri… Itu tanda sudah saatnya menjahit lagi. Lebih dari sekedar hobi, menjahit bikin hepi. "Sewing is my meditation," kata Junthamas seorang teman dari Chiang Mai yang menjahit dan menyulam sendiri pakaian dan lain-lain dengan tangan. 

Mungkin betul. Hepi adalah salah satu efeknya. Yang pasti bisa meredakan ketegangan, memancing imajinasi, dan - mungkin konyol - tapi aku merasa cantik saat menjahit. Hehehe...

Awalnya mau jahit baju untuk diri sendiri. Tiba-tiba ingat kalau keponakan mau ulang tahun. Maka putar otak cari ide jahitan. Tadinya mau bikin bantal, karena selalu suka ekspresi Fazil saat memeluk guling dan boneka kesayangannya. Tapi di rumah cuma ada cushion ikea ukuran 50x50cm. Sepertinya terlalu besar untuk dipeluk bocah berusia satu tahun. 

Mulailah browsing di pinterest. Ini bisa panjang karena fokus terpecah-pecah. Sampai akhirnya menemukan bentuk monster ini dengan mengambil potongan-potonga ide dari banyak contoh. 

Proses paling menyenangkan berikutnya adalah mencari kain dan memadu-padankan. Aku selalu senang kalau bisa menemukan padanan yang cantik dari kain-kain yang kubeli bukan disengaja untuk menjadi padanannya. Rasanya seperti mak comblang! Hahaha… Dan proses ini bisa lama. Karena banyak kain yang dilihat - dari yang masih lipatan besar sampai yang perca, juga tiba-tiba muncul ide-ide jahitan lain. Dan semua kain yang dipakai untuk menjahit monster ini, bahannya bagus-bagus banget. Linen dan katun berkualitas. 


Menjahitnya sendiri cuma perlu tiga jam, sudah termasuk draft (tanpa pola), menjahit kancing dan menyulam untuk senyumnya, mengisi dakron, sampai merapikan benang-benang sisa. Dan yang seru, menjahit monster ini tanpa aturan! Ngga perlu pola, ngga perlu mengukur dan membuat garis lurus dengan penggaris, ngga perlu simetris, warnanya bebas...


Sengaja dibuat satu gigi karena yang aku ingat, Fazil giginya baru tumbuh satu di bawah depan. Meskipun info terbarunya sudah tiga :D


Dan bagian yang paling-paling menyenangkan - dalam arti betul-betul membuat hepi, adalah saat selesai. Ngga ada puasnya dipandangi, dielus-elus, difoto berbagai posisi, dicium-cium… Ini butuh waktu lebih lama dari proses menjahitnya. Jadi total waktu menjahitnya seharian...



Ini menjahitku yang pertama di rumah baru. Jadi masih banyak bahan dan peralatan tersimpan di dalam kardus yang terpisah. Dan ini hasilnya… 


Tapi ini juga berarti bahwa aku sudah mengklaim bahwa ruang ini menjadi ruang jahitku. Yeaayyy!!!


Selamat ulang tahun, dear Fazil! Tumbuhlah dengan sehat dan percaya diri. 

batik wrap pants

Ini kostum lebaran. Tiba-tiba keidean bikin wrap pants. Dulu celana model begini pernah ada di Malioboro. Dulu, jaman sepuluh tahun lalu. Beberapa waktu lalu, nemu tutorialnya di pinterest. Diliat-liat bentuknya jadi kayak kulot. Oke juga.



Bahannya batik Lasem, yang dipakai seragam waktu acara midodareni nikahan Bhas. Motifnya krecak, konon terinspirasi dari batu-batu pada saat pembangunan Jalan Raya Daendels. Menurutku, ini cantik!

: )

Senin, 27 Juli 2015

Home is Where the Heart is: Pulang!

Ceritanya panjang untuk akhirnya pulang. Bahkan sampai beberapa hari menjelang lebaran, aku belum tahu akan lebaran di mana.

Dodi tidak bisa libur dari lapangan. Dan sepertinya tidak memungkinkan kalau aku ikut berlebaran menyusulnya seperti waktu ia penelitian di Ketapang beberapa tahun lalu. Sempat memutuskan untuk berlebaran di Jakarta saja, paling ke rumah bude-tante di sini. Tapi semakin dekat hari H, rasanya kok semakin sedih. Dan tiga hari sebelum lebaran, aku memutuskan untuk pulang. Tiket pesawat sudah mahal, apalagi setelah habis-habisan mendandani rumah. Kereta api sudah sold out. Hilda menawarkan travel temannya, well bukan travel biasa, tapi mobil rental yang dijadikan travel di musim mudik ini. Kebetulan ada kursi kosong yang berangkat H-1 lebaran.

H-1. Sudah menunggu dari sahur, ternyata mobilnya belum bisa balik ke Jakarta. Semalaman terjebak macet di Brebes. Sampai hampir tengah hari tidak ada kepastian. Percuma juga kalau berangkat sudah sore atau malam, atau bahkan besok. Tidak akan bisa mengejar lebaran. Padahal sudah terbayang ketupat opor + sambal krecek, nastar, kamar, rumah dan tentu keluarga. Apalah lebaran, kalau kita tidak pulang ke rumah. And home is where the heart is. Rumahku dua, ke Dodi atau ke Mama.

Sambil berlinang air mata, akhirnya aku browsing tiket. Beberapa kali refresh traveloka. Habis. Tinggal tiket yang harganya dua juta. Ngga mungkin beli semahal itu. Sampai akhirnya, ting! Ada satu tiket, berangkat sore itu dengan harga di bawah satu juta. Mungkin ada orang cancel. Tanpa pikir panjang langsung booking, mandi lalu repacking.

Akhirnya pulang dengan bahagia.

Aku layak bahagia, karena ternyata sudah setahun tidak pulang. Terakhir lebaran tahun lalu. Sepuluh hari di Jogja untuk menebusnya, dan hanya di rumah. Mungkin aku harus minta maaf ke teman-teman di Jogja karena sepuluh hari di Jogja aku sama sekali tidak berkabar apalagi ketemuan. Setelah lebih dari sebulan sendirian karena ditinggal Dodi penelitian ke Riau, maka 'rumah' adalah tempat yang kurindukan. Home is not a place, it's a feeling.

Hari ini kembali ke Sawangan dengan gembira. Ke rumah kami.


Sampai di rumah langsung menyeduh teh dan senyum-senyum sendiri. Membongkar bawaan yang besarnya tiga kali lipat dibandingkan saat ke Jogja. Dan barangkali juga mudik membawa energi baru, karena aku langsung mencari sepasang kain jarik hadiah ulang tahun dari mama tahun lalu.



Sido Asih latar putih, khas jarik Jogja, lalu aku wiru - membuat lipatan-lipatan di satu sisinya, begitulah kami memakai jarik. Satu wiru perempuan untuk aku, dan satu lagi wiru laki-laki untuk Dodi.


Waktu kelas empat SD, aku pernah juara wiru jarik dalam rangka ulang tahun kemerdekaan RI di sekolah. Waktu itu belajar semalaman dari Mama. Kalau sampai hari ini tidak pernah lagi juara wiru jarik, itu karena memang tidak ada lagi lomba ini lingkunganku. Lebih dari itu, aku percaya ada kebanggaan menjadi Jawa.

Tidak hanya Jawa, tetapi Jogja. Di rumah kemarin, bongkar lemari Mama dan akhirnya dua jarik dihibahkan untukku. Satu jarik sogan Solo, dan satu lagi kasatriyan Jogja. Kebahagiaan lengkap setelah akhirnya aku mendapatkan kebaya lurik yang pas dan bagus. Pas dan bagus, karena sejak beberapa tahun yang lalu bolak-balik ke Tjokrosuharto ngga dapet lagi kebaya yang luriknya halus atau setidaknya lumayan. Kemarin tanpa sengaja, dapet kebaya ini di Jalan Solo dengan harga yang amat meringankan dompet ; )

Kebaya lurik dan jarik kasatriyan. I could not ask more for lebaran.



Selamat Lebaran,
Maaf lahir dan batin!


Sabtu, 11 Juli 2015

embroidered fabric cuff

Ini iseng yang agak rumit.







Yang satu kupakai dan sudah hilang. Satu lagi gift buat Hilda.


wearing ethnic

Aku suka kain-kain etnik. Membayangkan proses pembuatannya yang rumit. Semakin banyak sentuhan tangan dan lama prosesnya, kain itu menjadi semakin indah.

Aku suka memakai baju dari kain-kain cantik itu. Salah satu alasanku menjahit, agar aku bisa membuat sendiri baju dengan model yang aku suka, dengan kain-kain yang aku suka. Terus terang, di toko tidak banyak model baju dari kain etnik yang sesuai seleraku. Kalaupun ada, biasanya yang harganya mahal. Hehehe…

Ini adalah baju berlengan pertama yang kujahit. Terinspirasi dari model baju-baju India. Tanpa pola. Itu sebabnya bentuk lengan agak ketarik pas dipakai. Kainnya batik Jambi, dan sebagaimana batik Jambi yang dijual potongan per 2 atau 3 meter, selalu punya list. List ini yang memberikan ide untuk mencontek baju India.

Warna aslinya sebetulnya agak lebih gelap. Mendekati nude. Sepintas motifnya terlalu ramai, dan batiknya memang tidak halus. Tapi, aku merasa cantik setiap pakai ini : )



Berikutnya kain etnik dari Burma. Kubeli saat kesana untuk acara Regional Partner Meeting TdHG. Ini sebetulnya kain sarung. Perempuan-perempuan di sana masih memakai sarung untuk pakaian sehari-hari. Sekarang lebih modis lagi, mereka matchingkan dengan atasan senada. Kurang lebih seperti Aung San Su Kyii, tapi banyak variannya dan dengan warna-warna yang lebih berani. 

Ada berbagai kelompok etnik dengan motif kainnya sendiri di sana. Yang ini motif Kachin kalau tidak salah. Warna dasar hitam dengan aksen tumpal dari benang merah jambu. Aku dapat di saat-saat terakhir saat sudah putus asa muterin satu pasar. Tadinya iri dengan kain Kachin yang dibeli Tila, warna dasar merah dengan motif benang juga merah. 

Atasan tunik ini kujahit dengan pola yang diunduh free dari internet. Sengaja dibuat agak panjang, supaya bahannya kepake banyak. Sayang kan, sudah bagus, susah dapet, masa cuma sedikit yang dipakai. Karena pola jadi, jahitnya juga enak. Pas semuanya.


 

Selesai dijahit, langsung dipakai pas presentasi di Surabaya. 


Yang ini sebetulnya sudah lama dijahitnya. Kainnya tenun Makassar yang bisa dibeli meteran di toko-toko kerajinan/suvenir di sana. Ini kubeli waktu kunjungan ke Sokola Pesisir sekitar tahun 2012. Paduan warnanya cantik: merah bata, tosca, abu-abu dan sedikit kuning. Aku pakai di acara premiere film Sokola Rimba.



Lalu ada straight-cut sarouel pants yang polanya dapet dari Japanese Sewing Pattern Book. Pola-pola jenis ini simpel dan biasanya lurus-lurus aja. Hasilnya bagus dan nyaman. Kainnya batik solo bekas seragam  mantennya Bhas.

 


Sebetulnya ada satu celana lagi dari kain batik lasem yang mau kuceritakan di sini. Model popok yang cukup simpel dijahitnya. Sayangnya karena modelnya rumit, susah difoto kalau tidak sedang dipakai. Dan sayangnya sekarang sedang ngga ada yang bisa dimintain tolong untuk fotoin. Next time aku upload.

Pada akhirnya, aku menyimpulkan bahwa ethnic fabric never fail!

blanket for baby Anakin (late post)

Welcoming baby Anakin, aku menjahitkan selimut ini. Nama Anakin, keponakan baru, diambil dari nama ayah Hans Solo di film Star Wars, film favorit bapaknya, - selain hasil utak-atik nama kedua orang tuanya. Dari selera bapaknya, sudah pasti nggak mungkin kasih selimut yang bergambar biasa-biasa. Untungnya segera menemukan kain bermotif space ini.

Sedikit menyesal dengan pilihan katun lokal untuk warna kotak-kotaknya. Terus terang memang hanya untuk mendapatkan paduan motif yang pas. Tapi ternyata katun lokal ini kualitas rendah sehingga jadi berbulu di kemudian hari. Tapi over all, cukup puas dengan selimut ini. Isiannya dakron press, dan dijelujur manual di beberapa bagian sebagai detail.





Jumat, 10 Juli 2015

Rumah.

Sejak awal, rumah ini melampaui imajinasiku. Tapi sebetulnya ini masalah selera.

Kalau disuruh menyebutkan, rumah seperti apa yang aku inginkan aku akan jawab sebuah rumah tropis yang teduh, menyatu dengan alam, ramah lingkungan, dan mungkin istilah desainnya agak-agak rustik gitu. Tetapi syarat pertama dari Bhaskoro, adikku yang menyanggupi untuk mendesain dan mengerjakan segala sesuatunya sampai rumah ini siap huni adalah: aku tidak boleh protes dan banyak maunya. 

Oke. 

Masih sempet sih, usul ini-itu sedikit. Ada yang ditolak karena tidak sesuai dengan konsep desainnya, tapi ada juga yang pada akhirnya dipenuhi. Dan inilah hasil jadinya, sebuah rumah modern minimalis - kalau memang itu namanya. Bukan seperti yang aku bayangkan, tetapi membuat aku jatuh cinta. 

Karya lain adikku bisa lihat di http://griddesain.com
Mestinya aku tidak terlalu kaget, karena rumah ini kata orang masih senada dengan rumah Jogja hasil karya Bapak, atau rumah Mas Sinang yang didesain sendiri, dan tentu saja rumah Bhas yang dibangun bersamaan dengan rumahku. Tiga arsitek dalam satu keluarga, tentu akan dicari-cari kesamaannya : )


Tapi harus dicatat bahwa rumah semacam ini easy to maintain. Aku bisa melihat seluruh sudutnya, kering - tidak ada sudut lembab, dan banyak lubang untuk cahaya masuk sehingga tidak perlu lampu pada siang sampai sore. Bahkan malam hari, jumlah lampu yang menyala pun tidak perlu terlalu banyak karena satu lampu efektif menyinari seluruh ruang. LED pilihan yang tepat, bahkan rekening listriknya sama dengan waktu rumahnya masih 36 meter persegi. 

Satu hal yang kurasa kurang, bahwa Dodi sedang ada pekerjaan di luar kota sejak awal rumah ini selesai. Dia bahkan belum merasakan tinggal di sini. Tentu aku harus mengambil hikmahnya, bahwa rejeki datang di saat kami sudah habis-habisan untuk membiayai pembangunan rumah ini. Dan juga, tidak perlu ada pertengkaran karena berbeda selera dalam mengatur rumah. 


Aku membuktikan mitos, bahwa membangun rumah pasti pengeluarannya bakal jauh dari yang direncanakan. Ada momen itu menjelang 75% pembangunan selesai. Untungnya memang ada plan B: teras samping batal dibikin. Teras itu rencananya akan jadi tempat leyeh-leyeh sambil menikmati kopi sore atau tempat kerja Dodi yang juga area merokok. Maka pintu-pintu kaca yang rencananya menjadi penghubung ruang utama dengan teras pun diganti dengan tembok. Tapi ini yang kemudian membuat aku jatuh cinta. Selain lantai plester semen, pintu-pintu kaca digantikan dengan tembok hebel yang hanya dicat tanpa dilapis semen, dan juga rooster di sisi lainnya. FYI, punya rumah dengan aksen rooster itu sudah lama kuidam-idamkan makanya aku begitu bahagia mendapati dinding rooster ini. 


Dan kemarin, pesanan mebel datang. Salah satunya bangku panjang untuk menggantikan kursi makan di satu sisi meja. Bangku panjang ini juga kuidam-idamkan sejak lama.


Pesanan lain adalah meja kerja untuk Dodi. Dan ruangan kerja adalah satu hal yang khusus di-request Dodi untuk rumah kami. Rencananya dia akan menaruh banyak bukunya di sini, juga poster-poster peta dunia dan everest. Untuk ruangan ini, aku menjahitkan tirai kotak-kotak berbahan flanel. Selanjutnya, ruang ini menunggu pemiliknya pulang...

Meja kerja by Homey Furniture
Menjahit korden adalah pekerjaan selanjutnya. Rasanya puas pas ngeliat kordennya bisa berlekuk sempurna sewaktu dipasang. Sesederhana itu. Sesederhana keinginan untuk selalu pulang ke rumah.

Dipan by Homey Furniture
Masih perlu banyak sentuhan untuk menjadikannya betul-betul mencerminkan kami. Juga banyak ruang-ruang yang belum beres dikerjakan seperti dapur, ruang tivi, juga ruang jahitku.



Rumah selalu punya makna buatku. Rumah adalah tempat untuk pulang - dalam keadaan apapun. Untuk me-recharge energi dan pikiran. Home is where the heart is.

PS. Dapurnya belum ditampilkan karena masih darurat dan berantakan : )