Rabu, 13 Januari 2016

Mengingat Bapak.




“Aku punya rumah, dibangun dengan cinta, diisi dengan cinta.
Bapak bikin rumah, rumah bagus biar kami senang, kami betah, dan selalu ingat untuk pulang.
Ada mimpi, ada cita-cita, ada pesan-pesan di rumahku. Bapak banget.”

Tulisan di atas aku buat sekitar seminggu setelah  meninggalnya Bapak, 17 tahun yang lalu, saat aku masih mahasiswa tahun ke-dua. Bapakku lulusan teknik arsitektur dan mengabdikan diri sebagai dosen. Karena itulah tidak banyak karya bangunan yang dibuatnya - dan rumahku, tentu menjadi yang paling istimewa.

Pada hari meninggalnya Bapak, aku mulai melihat rumah kami dengan cara yang berbeda. Rumah kami begitu terang hari itu. Cahaya masuk melalui jendela-jendela besarnya. Jenasah Bapak diletakkan di salah satu sudutnya, di atas amben kayu yang menjadi tempat kesukaan keluarga kami saat berkumpul dan menonton televisi.

Hari itu aku kehilangan Bapak. Tapi aku merasa rumah sedang memelukku. Hangat. Perasaan itu masih kusimpan melalui foto rumah dan tulisan tentang Bapak yang selalu kubawa ke manapun sebagai konsekuensi dari pekerjaanku 13 tahun terakhir ini hingga akhirnya aku pindah kota dan akhirnya ‘membangun’ rumah bersama suamiku di kota yang berbeda.

Perasaan hangat itulah yang ingin kuhadirkan di rumahku sekarang. Dan rasa ini hanya bisa dibangun dengan cinta penghuninya, tidak peduli bagaimanapun bentuk fisik rumahnya. Rumahku tidak akan seapik dan serapih rumah-rumah yang digambarkan di majalah dan internet. Tapi dengan cinta, rumah akan memeluk dan menyambut hangat. Akan selalu dirindukan dalam setiap perjalanan.