Jumat, 02 Desember 2016

Weekend Sewing: Camera Pouch


Menjahit camera pouch ini untuk Dodi beberapa weekend lalu. Di luar dugaan, tidak butuh waktu lama untuk menjahitnya. Idenya sudah lama ada di kepala, apalagi sejak punya kain camo yang kubeli saat libur lebaran lalu di Jogja. Kain camo-nya asik. Motifnya ngga pasaran.

Seperti biasa, eksekusinya tanpa pola. Agal meleset dari rencana. Mestinya bagian atas disisakan lebih panjang agar bisa lebih rapat terlipat. Bagian dalam aku kasih kain parasut, maksudnya supaya bisa menahan air kalau (jangan sampai, sih) misalnya kehujanan atau harus kena cipratan. Tapi aku ngga pengalaman jahit kain parasut, jadinya agak meletot. Hehehe... Selain itu, rupanya juga kurang panjang, sehingga dalamannya sedikit menggantung. Rencananya sih mau direvisi nanti.

Aku juga memikirkan metode penutupnya sambil menjahit hingga akhirnya memutuskan pakai model tali ini. Mestinya pakai besi D, tapi karena besi D di rumah ukurannya lebih kecil dari tali webbing yang kupakai, jadinya pakai besi yang biasa untuk tali tas jadinya suka lepas sendiri. Mudah-mudahan sempat segera ke Mayestik untuk beli besi D yang sesuai ukurannya.

Mudah-mudahan juga, sempat dan bersemangat untuk menjahit beberapa lagi ;-

Marie and Me


Aku menyelesaikan buku Marie Kondo "The Life-Changing Magic of Tidying Up" dalam penerbangan Jakarta-Jogja dan buru-buru ingin menuliskannya agar tidak lupa. Bukunya sendiri langsung aku berikan ke Karin, sebagai hadiah persiapan menikah :D. Tapi kalau kamu membaca buku ini, tentu kamu memahami hubungan antara kakak dan adik perempuan, dan kenapa aku sering memberikan barang-barang ke adik perempuanku satu-satunya ini. Karena itu, saat membaca pengalaman Marie yang dituliskan dalam buku ini, aku juga sedikit merasa bersalah.

Lebih dari pengalaman hubungan kakak dan adik perempuan, ada cerita pengalaman Marie lainnya yang aku merasa pernah juga mengalamainya, memikirkan hal yang sama, meskipun aku tidak lantas se-obsesif dia saat eksekusi beres-beres. Tapi aku mengalami beberapa hal yang mirip misalnya dulu saat beberes rumah Jogja, aku kadang membuang beberapa barang milik kakak atau adikku tanpa ijin atau minimal aku bereskan dan tersembunyi di suatu tempat. Setiap akhir tahun ajaran, aku punya ritual membereskan kamar termasuk buku-buku yang sudah tidak terpakai lagi. Aku juga mengalami membereskan kamar saat besoknya mau ujian. 

Ketika akan pindah ke Jambi, satu hal yang ingin kupastikan adalah membereskan lemari-lemari di rumah yang penuh dan tidak jarang berdebu. Aku tahu benar rasa lega setelah bisa membuang/menyingkirkan barang-barang yang teronggok tidak berguna di rumah, sampai sekarang. Aku selalu berpikir bagaimana caranya memaksimalkan ruang-ruang di rumah, ruang-ruang penyimpanan, agar tidak ada yang mubazir. Rasanya aku juga cukup sering memilah barang yang masih dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan, dan putus asa kalau barang yang tidak dibutuhkan itu masih tersimpan di rumah. Kecuali tentu barang-barang kenangan atau koleksi yang tidak sedikit juga. Tapi, hey, siapa yang tidak membutuhkan kenangan dan kesenangan mengoleksi?

Aku juga memikirkan lendir di tempat sabun di kamar mandi atau di tempat penyimpanan sabun dan spon cuci piring, meskipun mempunyai solusi yang berbeda dengan Marie. Pada akhirnya aku menciptakan trik-trik mengelola rumah agar 'easy to maintain' karena aku (dan Dodi) mengerjakan semua sendiri. Karena itu aku setuju pendapatnya bahwa menyimpan barang-barang, intinya bukan agar kita mudah untuk mengambilnya, melainkan agar kita mudah membereskannya. Terakhir, aku juga selalu menyapa rumah seperti yang dilakukan Marie.

Seperti Marie, aku juga anak nomor dua di antara kakak dan adik, yang biasanya memiliki 'dunia' sendiri dan mandiri. Aku juga membaca banyak buku arsitektur dan interior sejak kecil karena Bapak. Kalau akhirnya aku tidak se-obsesif Marie, mungkin karena aku punya passion selain beres-beres. Tapi besar kemungkinan karena aku pemalas luar biasa. Hehehe...

Sebagai sebuah buku, aku memikmati proses membacanya. Seperti membaca novel yang mencerahkan. Aku merasa mendapat pengetahuan baru dan tidak sabar ingin segera menyelesaikan lembar demi lembar lalu melihat sekeliling rumah untuk melihat apa yang perlu dibereskan. Padahal, aku sempat ragu-ragu waktu akan membelinya walaupun sebelumnya sudah cukup banyak browsing dan membaca ulasan tentang buku ini, juga metode Konmari. Suatu hari, aku sudah sampai di depan Gramedia tapi ngga jadi masuk dan membeli buku ini. Waktu itu aku berpikir, masa beres-beres aja perlu diajarin (dan ini dijawab oleh Marie di bukunya). Selain itu juga khawatir buku ini sejenis buku tips yang laris-manis dijual bukan karena memang bermanfaat tapi karena pembeli yang mengira persoalannya selesai setelah membaca bukunya. Ulasan terakhir yang kubaca, tulisan Dewi Lestari yang membuatku bertekad ke toko buku besoknya untuk beli buku ini. 

Secara praktikal, aku merasa buku ini melengkapi diriku, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membuatku penasaran, dan mengkonfirmasi beberapa keputusan yang kuambil saat membereskan rumah, sekaligus menohokku dengan paparan 'dosa-dosa' selama ini yang bikin rumah berantakan. Seharusnya, setelah membaca buku ini, aku bisa lebih baik dalam membereskan rumah. Seharusnya. Membereskan ya, bukan bersih-bersih. Itu dua hal yang berbeda. 

Lebih dari persoalan lipat-melipat pakaian dan membuang yang tidak membuat gembira, aku senang karena Marie mengingatkan kita tentang banyaknya barang yang tidak berguna yang bertumpuk di rumah, - kebanyakan akibat dari nafsu konsumsi kita. Dia mengajarkan kita untuk menghargai benda-benda dan menyayanginya karena jasanya kepada kita selama kita pakai. Dan yang paling menohok, dia menyarankan untuk tidak gegabah membeli produk-produk penyimpanan barang di saat aku berpikir untuk membeli beberapa lemari. Buat apa membeli lemari kalau hanya untuk menyembunyikan barang-barang yang sebetulnya tidak kita gunakan, atau dalam bahasa Marie tidak membuat gembira. Lemari itu, seperti halnya barang-barang, hanya akan membuat rumah lebih penuh. Dan lemari, sekali membeli akan susah untuk dibuang. 

Aku tidak tahu, perasaan gembira saat membaca buku ini akan terjadi pada semua orang atau hanya orang-orang yang punya penasaran berlebih untuk beberes rumah saja. Tapi sungguh, aku setuju Dewi Lestari bahwa buku ini akan mengubah cara pandang kita terhadap barang-barang yang kita miliki. Aku sendiri tidak janji akan menerapkan seutuhnya metode Konmari di rumah, tapi aku tahu aku sudah menemukan beberapa jawaban untuk membereskan rumah. Jawaban itu bukan sekadar teknis cara kita membereskan rumah, tetapi lebih dari itu adalah cara pandang kita terhadap beberes dan terhadap barang-barang di rumah.

Dan akhir kata, kalau aku boleh punya permintaan, aku ingin Karin ikut kursus beberesnya Marie Kondo! Serius. 

Minggu, 13 November 2016

Rinjani.

"Setidaknya satu kali dalam hidupku, aku pernah naik gunung."

Begitu aku berkata dalam hati, sejak awal perjalanan, setiap kali ngos-ngosan mendaki, bahkan menjelang sampai ke puncak Plawangan di ketinggian 2.400 mdpl. Sungguh tidak pernah terbayang kalau aku akhirnya mendaki gunung pertamaku di usia 38 tahun, - dengan uban dan kerut sekitar mata, dengkul berbunyi dan sakit pinggang. Mendaki ya, maksudnya jalan menuju puncak. Kalau ke gunung saja, mungkin ke Bromo atau Kelimutu bisa masuk hitungan.



Meskipun biasa ke rimba, tentu naik gunung ngga bisa disamakan. Ke rimba, jalannya relatif datar tanpa tanjakan berarti, di dataran rendah artinya ngga dingin, bahkan ketika berjalan kaki empat hari ke Kejasung, aku ngga terlalu keteteran kecuali melewati titian kayu. Keseimbangan memang masalahku. Dan ke rimba, kurasa ngga bisa dibilang camping tapi ber-rumah di sana. Maka pengalaman kemarin, totally different dengan rimba!

Sebetulnya aku ngga terlalu ragu-ragu waktu Dodi mengajak ke Rinjani sepulang ia dari penelitian di desa Aik Berik. Di sana, baru diresmikan rute pendakian menuju Danau Segara Anak. Rute ini memang bukan untuk menuju puncak karena puncak Rinjani (3.726 mdpl) berada di sisi utara danau, sementara Plawangan Aik Berik di sisi selatannya. Waktu aku mengiyakan, itu juga karena gunungnya ada di Lombok. Jadi bisa sambil jalan-jalan ala turis di sana. Kemudian aku menemukan artikel yang mengatakan bahwa Aik Berik adalah jalur pendakian paling landai dengan pemandangan paing indah. Ini sungguh kabar baik buatku. Tidak perlu menempuh "tujuh bukit penyesalan" yang legendaris itu.


Selain itu, sudah hampir dua tahun belakangan ini aku rutin yoga dan kurasa cukup intensif. Yoga di rumah saja, dari televisi atau youtube, sekadar melatih otot-otot.  Juga renang sesekali. Dan sungguh, aku menyesal kenapa baru memulainya dua tahun terakhir ini. Aku baru merasakan efek berkeringat yang menyenangkan dari olahraga. Maka, kalau pendakian ini dilakukan lima tahun yang lalu, sekalipun aku lebih muda tetapi aku tidak yakin bisa melakukannya sebaik sekarang.

Saat akhirnya memutuskan untuk ke Rinjani, sekitar dua minggu lebih sebelum pendakian, aku mulai giat yoga dengan gerakan-gerakan yang mendukung kekuatan kaki, dengkul, dan sebagainya yang kurasa perlu. Aku punya unduhan youtube gerakan yoga untuk persiapan mendaki gunung, dan aku mengulang gerakan itu hampir setiap hari sampai sebelum berangkat. Selain itu juga sempat berenang dua kali. Persiapan lain juga cukup menyenangkan, belanja beberapa perlengkapan misalnya ;-)



Satu hal yang paling aku senangi dari perjalanan kemarin adalah kegembiraan yang menyertainya. Dari awal juga sudah berjanji ke diri sendiri untuk tidak mengeluh dan tidak cemberut di perjalanan. Meskipun ngos-ngosan di setiap tanjakan, hampir selalu nunduk konsentrasi melihat langkah, tapi syukurlah selalu ketawa. Juga karena tanpa sinyal hp dan televisi, jadi waktuku sepenuhnya dihabiskan dengan Dodi tanpa gangguan apapun. Apalagi kami memakai jasa porter yang tidak hanya membawakan ransel, tetapi juga masak dan mendirikan tenda. Maka aku dan Dodi kerjaannya cuma jalan, makan, ngobrol dan tidur, begitu terus setiap hari. Sungguh menyenangkan.



Dan hiburan sepanjang perjalan adalah suguhan pemandangan cantik: punggungan bukit, savana, awan, air terjun, kabut dan angin yang ributnya seperti sirkuit F1. Yang terakhir tentu tidak cantik, bahkan bikin aku mati gaya. Betul-betul tidak bosan dengan hanya duduk sambil memanjakan mata melihat semua itu. Apalagi saat kami sampai di Plawangan dengan pemandangan danau Segara Anak dan Gunung Barujari di tengahnya. Subhanallah.


Aku menemukan diriku yang berbeda di sana. Indit yang menikmati ngga mandi dan ngga keramas sampai berhari-hari. Asal tahu, aku keramas setiap hari. Tidak bisa tidak.

Kegembiraan gunung kami bawa sampai pulang. Ceritanya tidak berhenti dan bolak-balik buka hp atau laptop untuk lihat foto-foto. Dan kesimpulan yang pasti, aku mau lebih sering olahraga.


Rabu, 13 Januari 2016

Mengingat Bapak.




“Aku punya rumah, dibangun dengan cinta, diisi dengan cinta.
Bapak bikin rumah, rumah bagus biar kami senang, kami betah, dan selalu ingat untuk pulang.
Ada mimpi, ada cita-cita, ada pesan-pesan di rumahku. Bapak banget.”

Tulisan di atas aku buat sekitar seminggu setelah  meninggalnya Bapak, 17 tahun yang lalu, saat aku masih mahasiswa tahun ke-dua. Bapakku lulusan teknik arsitektur dan mengabdikan diri sebagai dosen. Karena itulah tidak banyak karya bangunan yang dibuatnya - dan rumahku, tentu menjadi yang paling istimewa.

Pada hari meninggalnya Bapak, aku mulai melihat rumah kami dengan cara yang berbeda. Rumah kami begitu terang hari itu. Cahaya masuk melalui jendela-jendela besarnya. Jenasah Bapak diletakkan di salah satu sudutnya, di atas amben kayu yang menjadi tempat kesukaan keluarga kami saat berkumpul dan menonton televisi.

Hari itu aku kehilangan Bapak. Tapi aku merasa rumah sedang memelukku. Hangat. Perasaan itu masih kusimpan melalui foto rumah dan tulisan tentang Bapak yang selalu kubawa ke manapun sebagai konsekuensi dari pekerjaanku 13 tahun terakhir ini hingga akhirnya aku pindah kota dan akhirnya ‘membangun’ rumah bersama suamiku di kota yang berbeda.

Perasaan hangat itulah yang ingin kuhadirkan di rumahku sekarang. Dan rasa ini hanya bisa dibangun dengan cinta penghuninya, tidak peduli bagaimanapun bentuk fisik rumahnya. Rumahku tidak akan seapik dan serapih rumah-rumah yang digambarkan di majalah dan internet. Tapi dengan cinta, rumah akan memeluk dan menyambut hangat. Akan selalu dirindukan dalam setiap perjalanan.