Minggu, 23 Maret 2014

welcome on board!

Our dear baby,

Kita akan punya petualangan bersama - dalam perutku - hingga sekitar 30 minggu ke depan. Petualangan, yang aku belum bisa katakan seperti apa rasanya. Tetapi, makanya aku namakan petualangan, pasti akan seru!

Kita sudah melewati beberapa minggu dengan baik. Dan yang istimewa, kamu sudah merasakan kegembiraan rimba: bau dedaunan dan udara segar yang kuhirup, berenang-renang di sungai Makekal, nyanyian serangga dan burung-burung, kehangatan obrolan orang-orang di sana, mendengar huruf demi huruf dieja atau komat-kamit muridku yang menghitung perkalian dengan wajah kebingungan. Rimba memang selalu hangat dan menyenangkan.  

Tetapi sisa petualangan kita mungkin akan lebih banyak di Jakarta, Sawangan - rumah kita, juga mungkin satu kali ke Jogja dan Bandung saat lebaran nanti. Di Jakarta, aku tidak bisa menjanjikan kegembiraan yang sama seperti di rimba. Kamu sudah rasakan, bukan? Berdiri berdesakan di kereta, serta jalan yang macet dan berasap. Tidak pernah santai, orang Jakarta ini. Beruntung aku bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan di rumah, tanpa harus menghabiskan waktu 3-4 jam di perjalanan ke kantor setiap hari.

Tetaplah kuat dan bergembira, sayang. Aku akan menjagamu dan mengusahakan akan menjadi mudah dan nyaman bagimu. Terima kasih karena telah datang dan menemani petualangan kami. Dari berdua, jadi bertiga. Mulai sekarang dan seterusnya, kita adalah tim! I love you.

Sabtu, 01 Maret 2014

perjalanan sepucuk surat

Jakarta, 21 Agustus 2013. Sebuah sampul surat berstampel post Tembilanan tahun 1983 tahu-tahu diposting oleh Mas Sinang di timeline facebook-ku. Tertulis jelas disitu namaku sebagai tujuan pengiriman, dengan alamat Notoprajan - rumah kakek/nenek di Jogja.


Di timeline lain, Mas Sinang mem-posting bagian belakang sampul surat berwarna biru itu. Masih tertutup rapat dengan sebuah stiker label nama melekat, nama pengirimnya: Yunoke Rahma Andayani. Mba Oke, begitu kami memanggilnya. Kakak sepupuku yang saat itu tinggal di Tembilahan, Riau.


Surat itu tidak pernah kuketahui hingga hari itu, 30 tahun sejak terkirim. Mungkin Mba Oke juga lupa menanyakannya. Mas Sinang yang menemukannya waktu beres-beres rumah Notoprajan. Rumah keluarga itu memang jarang kami kunjungi sejak Pakde dan Bude (begitu kami memanggil kakek dan nenek kami) tinggal di Jakarta. Tapi dalam ingatanku, masih terekam saat beberapa kali liburan panjang, Mba Oke dan kakaknya Mba Ike 'dikirim' ke Jogja dan biasanya aku dan Mas Sinang pun akan tinggal di Notoprajan untuk menghabiskan waktu bersama.

Banyak sekali yang terjadi selama 30 tahun itu. Kegembiraan kami di rumah Notoprajan saat bermain hantu-hantuan, salon-salonan, naik becak bareng mengantarnya ke tempat les orgen, atau pergi ke toko Roma dan Nagamas untuk membeli pita rambut. Kami juga dibelikan baju lebaran dan dipanggilkan guru untuk les menari. Itu saat liburan di Notoprajan: rumah besar yang cukup luas untuk kami berlari-larian, rumah keluarga di mana kami menemukan barang-barang lama milik ibu, bude dan tante kami lalu menggunakannya untuk bermain.

Bermain dengan Mba Oke dan Mba Ike, tentu saja memberiku pengalaman yang berbeda dengan menghabiskan waktu dengan Mas Sinang. Dengan dua kakak perempuan, kami lebih banyak bermain saling mendandani, membuat pita-pita rambut, dan sebagainya.

Kurasa setelah liburan pertama di Notoprajan itulah kita saling berkirim surat. Umurku masih lima tahun tapi sudah bisa membaca dan menulis. Dan Mba Oke yang hanya tiga tahun lebih tua, dengan segera kujadikan role modelku. Ohya, aku juga sempat memanggilkan "Enci" untuk alasan yang aku sudah lupa.


Saat SMP, Mba Oke sekeluarga pindah ke Jakarta. Kepindahan ini membuat jarak kami semakin dekat. Setidaknya setiap lebaran, kami pasti bertemu di Jakarta. Di masa-masa puberku, Mba Oke benar-benar menjadi role model yang banyak kutiru. Mulai dari gaya berpakaian, kesukaannya menjahit dan menggambar, sampai mengidolakan NKOTB!

Sekali dua kali, Mba Oke juga ke Jogja lagi. Aku ingat, kami pernah bersepeda bersama ke rumah sepupu kami yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumahku. Waktu itu jaman kami masih ngefans NKOTB dan memasang poster Jonathan Knight di kamar. Juga saat Mba Oke memarahi preman kelas kakap yang mabok dan menyerempet mobil yang dibawanya suatu malam di Jogja, kalau tidak salah tahun 1995. "Ini mobil Papa saya. Sekarang Bapak ikut saya pulang dan bicara dengan Papa saya!" begitu ujarnya dengan lantang dan berani. Dan aku ingat sekali malam itu, kami susah payah menggiring dia bermobil menuju rumah. Setiap preman itu keluar arah, Mba Oke mengklakson keras-keras.

Keberanian Mba Oke malam itulah yang kembali kutemui empat tahun terakhir ini saat ia berjuang melawan kanker yang menggerogoti tubuhnya.

Aku mulai tinggal di Jakarta sejak tahun 2004 untuk kuliah dan bekerja untuk SOKOLA. Dan kami kembali dekat. Apalagi, Nobi dan Noji sekolah di deket rumah Cipulir, rumah nenek yang kutinggali saat itu. Hampir setiap hari Mba Oke jemput anak-anak ke Cipulir dan kami, biasa, ngobrolin diskon sini diskon sana, baju atau kain-kain lucu.

Aku menikah pada April 2009 dan bersama Dodi tinggal di Cipulir. Saat itu, aku mulai senang menjahit lagi dan dengan Mba Oke, pembicaraan kami seputar Mayestik dan Cipadu. Mba Oke yang pertama kali membawa dan membuatku ketagihan belanja kain ke Cipadu. Sampai pada akhir tahun 2009, Mba Oke tiba-tiba divonis kanker serviks dan harus dioperasi. Kusebut tiba-tiba karena memang sebelumnya nyaris tidak ada tanda-tanda sakit sekalipun. Mba Oke pap smear secara berkala. Lalu, tahu-tahu, kankernya sudah stadium dua.

Perjuangan dimulai.


Ini sarung bantal yang kujahitkan untuknya, Februari 2010. Tulisan yang tersulam itu kuambil dari status facebooknya: semakin kuat, semakin sehat. Dua hal itu pula yang menjadi doaku untuknya sejak hari itu.

Setelah operasi, Mba Oke menjalani serangkaian terapi radiasi. Lalu semuanya terlihat baik-baik saja. Kami masih sempat jalan ke Cipadu, masih ngerumpiin jahitan, dan banyak hal lain. Juga Mba Oke masih sempet nonton NKOTB yang konser ke Jakarta. What a dream comes true! Sampai pada suatu hari di bulan September 2012, setelah PET scan yang menyatakan bahwa kanker sudah menyebar ke kelenjar getah bening. Dan lima bulan selanjutnya adalah serangkaian kemoterapi yang harus dijalani.

Terus terang, waktu itu aku bingung bagaimana harus bersikap dan menyapanya. Apakah harus sedih, menghibur, atau apa. Tapi Mba Oke membuat kami semua nyaman di dekatnya ataupun saat ngobrol lewat whatsapp atau facebook. Tidak banyak yang berubah dari obrolan kami saat itu, kecuali saat fisiknya betul-betul ngga kuat. Dan tak sekalipun aku mendengar ia mengeluh. Tidak sekalipun. Padahal kemo, katanya terasa seperti badan dipotong-potong.

Pun berbulan-bulan setelah kemo, saat kami melihat kondisinya mulai menurun pelan-pelan, Mba Oke selalu tersenyum dan bersemangat. Ia masih mengerjakan proyeknya dari rumah, memantau perkembangan anak-anak, meminum obat dan mengatasi rasa sakitnya dengan dengan iklas, bahkan menunaikan ibadah haji tahun lalu dan pulang dengan gembira, membagikan kami oleh-oleh gamis yang dibelinya di sana. Sempurna.


***

Sepagi ini menghitung kenangan
Memungut setiap jejak senyuman yang kau tinggalkan

Hanyut bersama waktu, tak terhentikan

Jakarta, Jumat 28 Februari 2014. Aku ada di sampingnya - bersama dengan suaminya, orang tua dan beberapa saudara dekat, menunggu dan mendoakannya sampai nafasnya hilang pada saat menjelang adzan dhuhur. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Pada saat itu juga aku melihat wajahnya begitu tenang dan cantik. Bibirnya tersenyum. Sudah tidak merasakan sakit lagi. Dan kita semua setuju, bahwa segala sesuatunya dimudahkan hingga saat pemakaman sore hari.

***

Kuanggap tulisan ini sebagai balasan surat yang dikirim lebih dari 30 tahun lalu. Sampai nafas terakhir, aku masih belajar darinya, menjadikannya role model. Untuk keimanan, keberanian, ketegaran dan semangat juangnya.

Sekalian aku membuat pengakuan, bahwa beberapa kali aku menangis di kamar mandi di rumahnya saat menjenguknya, atau saat perjalanan pulang dari sana. Aku tidak setegar ia.

Aku ingat, malam tanggal 20 Februari, malam terakhir kunjunganku di rimba. Aku tidur nyenyak di kemalomon beralas gelogor di bukit Polai setelah makan malam yang nikmat masakan Induk Menosur. Aku bermimpi Mba Oke tampak sehat dan cantik, memakai sweater bulu-bulu berwarna putih dengan aksen pink. Ia tersenyum. Cantik sekali. Secantik pada hari ia dimakamkan.

Rest in peace, my dear sister.
Allahummaghfirlaha warhamha waafiha wafuanha.

Syawal 2013
Risma, Mba Oke, Tanya, Aku, dan Mba Ike