Sabtu, 17 Februari 2018

Membaca Padma

Sudah lama sekali, aku begitu selektif membaca terutama novel, selain memang waktu membaca jauh berkurang. Aku lebih memilih bacaan untuk kebutuhan pekerjaan saja. Itupun seringnya tidak habis satu buku, hanya baca bagian-bagian yang diinginkan dari beberapa buku. Novel yang aku baca dalam lima tahun terakhir kalau tidak salah hanya serial Supernova. Itu juga karena sudah kadung baca sejak seri pertamanya dulu, masih zaman kuliah.

Tapi kalau adikku sendiri yang menulis novel, sebagai kakak yang baik tentu aku harus membaca dan menuliskannya, agar kalau di-google bisa muncul namanya. Apalagi novelnya belum juga dicetak, masih hanya terbit dalam edisi e-book.


Mimpi Padma. Penerbit mengategorikannya sebagai "dark lit". Entah apa yang dimaksud dengan "dark" ini. Mungkin untuk mengesankan misterius. Well, novel ini memang berisi petualangan yang penuh misteri, tetapi bukan cerita horor yang menyeramkan. Justru kisah cinta yang melampaui ruang dan waktu. Bersiaplah.

Adikku beruntung. Ia yang lebih muda satu dekade, bertumbuh di zaman kreativitas menulis tidak sulit mendapatkan tempat di ruang-ruang formal. Ada satu masa beberapa tahun lalu, toko buku penuh dengan kisah-kisah romantika berbungkus "chick lit" dan banyak di antaranya adalah debutan karya penulis-penulis muda. Bisa jadi, pembaca yang juga seusia, merasa lebih dekat dengan penulis. Apalagi kisah yang diceritakan tidak jauh-jauh dari pengalaman usia mereka, seputar cinta dan persahabatan. Tolong koreksi kalau aku salah, karena aku bukan pembaca chick lit.

Sementara aku, di usia remaja hanya mengenal beberapa saja nama yang karyanya dipajang di toko buku. Mereka semacam Hilman, Zara Zetira, Gola Gong dan Bubin Lantang. Tidak ada yang lain. Menjelang kuliah, aku membaca sastra yang dipikir-pikir ceritanya memang berat dan rumit. Bukan berarti aku sombong dan mengklaim bacaanku lebih berat dari bacaan adikku, karena ia juga membaca buku-buku sastra. Ia membaca mungkin lebih banyak dan lebih beragam dari aku yang hidupnya sudah mulai 10 tahun lebih dahulu. Tapi maksudku menuliskan ini, bahwa adikku punya pengalaman membaca yang banyak dan beragam, dari yang ringan-ringan sampai yang berat dan butuh mikir. Itu kenapa "Mimpi Padma" menurutku bukan sekadar varian dark dari chicklit yang menjamur, bukan semacam varian dark cokelat Silverqueen (eh, masih ada ngga, sih?). Meskipun harus kuakui, penokohannya mengingatkan aku pada beberapa serial drama Korea. Yeah, selain buku-buku, adikku tumbuh bersama serial Asia, mulai dari Jerry Yan, Takuya Kimura, sampai Lee Min Ho (mohon maaf, aku tidak hafal nama aktor perempuannya. Hehe...), dan kesukaannya itu masih berlanjut hingga kini.

Satu-satunya yang membuat ini terasa seperti Silverqueen yang ringan dan manis adalah karakter tokoh-tokoh utama yang mengingatkanku pada serial drama Asia: perempuan selengean dan cuek berhadapan dengan tokoh laki-laki yang digambarkan tampan memesona. Untung saja karakter perempuan tidak digambarkan miskin. Kalau iya, telenovela itu artinya... Tapi aku juga melihat idealisasi penampilan adikku di tokoh Padma: parka hijau, ransel, running shoes, dan arkeologi. That's her. Meskipun aku curiga juga bahwa penampilannya banyak dipengaruhi drama Korea.

Di luar itu, aku menikmati membaca novel ini. Bahasanya mengalir, penggambaran yang detail, serta cerita yang terjalin sangat baik dan teliti. Membaca keseluruhan novel ini, tidak terasa seperti makan Silverqueen. Mungkin semacam Hershey's varian dark. Manisnya tidak berlebih, bikin gembira, tapi juga terasa berbobot coklatnya. Kurasa karena arkeologi-nya yang bukan sekadar tempelan pada tokoh Padma, tetapi membaur dalam cerita. Data arkeologisnya terdeskripsi secara detail. Tentu saja karena penulisnya adalah arkeolog. Dan ia berhasil menggunakannya untuk memperkuat cerita.

Selanjutnya aku berharap Cadbury Old Gold.