“Aku punya rumah,
dibangun dengan cinta, diisi dengan cinta.
Bapak bikin rumah,
rumah bagus biar kami senang, kami betah, dan selalu ingat untuk pulang.
Ada mimpi, ada
cita-cita, ada pesan-pesan di rumahku. Bapak banget.”
Tulisan di atas aku buat sekitar seminggu setelah meninggalnya Bapak, 17 tahun yang lalu, saat
aku masih mahasiswa tahun ke-dua. Bapakku lulusan teknik arsitektur dan
mengabdikan diri sebagai dosen. Karena itulah tidak banyak karya bangunan yang
dibuatnya - dan rumahku, tentu menjadi yang paling istimewa.
Pada hari meninggalnya Bapak, aku mulai melihat rumah kami
dengan cara yang berbeda. Rumah kami begitu terang hari itu. Cahaya masuk
melalui jendela-jendela besarnya. Jenasah Bapak diletakkan di salah satu
sudutnya, di atas amben kayu yang menjadi tempat kesukaan keluarga kami saat
berkumpul dan menonton televisi.
Hari itu aku kehilangan Bapak. Tapi aku merasa rumah sedang
memelukku. Hangat. Perasaan itu masih kusimpan melalui foto rumah dan tulisan
tentang Bapak yang selalu kubawa ke manapun sebagai konsekuensi dari
pekerjaanku 13 tahun terakhir ini hingga akhirnya aku pindah kota dan akhirnya ‘membangun’
rumah bersama suamiku di kota yang berbeda.
Perasaan hangat itulah yang ingin kuhadirkan di rumahku
sekarang. Dan rasa ini hanya bisa dibangun dengan cinta penghuninya, tidak
peduli bagaimanapun bentuk fisik rumahnya. Rumahku tidak akan seapik dan
serapih rumah-rumah yang digambarkan di majalah dan internet. Tapi dengan
cinta, rumah akan memeluk dan menyambut hangat. Akan selalu dirindukan dalam
setiap perjalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar