Kalau disuruh menyebutkan, rumah seperti apa yang aku inginkan aku akan jawab sebuah rumah tropis yang teduh, menyatu dengan alam, ramah lingkungan, dan mungkin istilah desainnya agak-agak rustik gitu. Tetapi syarat pertama dari Bhaskoro, adikku yang menyanggupi untuk mendesain dan mengerjakan segala sesuatunya sampai rumah ini siap huni adalah: aku tidak boleh protes dan banyak maunya.
Oke.
Masih sempet sih, usul ini-itu sedikit. Ada yang ditolak karena tidak sesuai dengan konsep desainnya, tapi ada juga yang pada akhirnya dipenuhi. Dan inilah hasil jadinya, sebuah rumah modern minimalis - kalau memang itu namanya. Bukan seperti yang aku bayangkan, tetapi membuat aku jatuh cinta.
Karya lain adikku bisa lihat di http://griddesain.com |
Mestinya aku tidak terlalu kaget, karena rumah ini kata orang masih senada dengan rumah Jogja hasil karya Bapak, atau rumah Mas Sinang yang didesain sendiri, dan tentu saja rumah Bhas yang dibangun bersamaan dengan rumahku. Tiga arsitek dalam satu keluarga, tentu akan dicari-cari kesamaannya : )
Tapi harus dicatat bahwa rumah semacam ini easy to maintain. Aku bisa melihat seluruh sudutnya, kering - tidak ada sudut lembab, dan banyak lubang untuk cahaya masuk sehingga tidak perlu lampu pada siang sampai sore. Bahkan malam hari, jumlah lampu yang menyala pun tidak perlu terlalu banyak karena satu lampu efektif menyinari seluruh ruang. LED pilihan yang tepat, bahkan rekening listriknya sama dengan waktu rumahnya masih 36 meter persegi.
Satu hal yang kurasa kurang, bahwa Dodi sedang ada pekerjaan di luar kota sejak awal rumah ini selesai. Dia bahkan belum merasakan tinggal di sini. Tentu aku harus mengambil hikmahnya, bahwa rejeki datang di saat kami sudah habis-habisan untuk membiayai pembangunan rumah ini. Dan juga, tidak perlu ada pertengkaran karena berbeda selera dalam mengatur rumah.
Aku membuktikan mitos, bahwa membangun rumah pasti pengeluarannya bakal jauh dari yang direncanakan. Ada momen itu menjelang 75% pembangunan selesai. Untungnya memang ada plan B: teras samping batal dibikin. Teras itu rencananya akan jadi tempat leyeh-leyeh sambil menikmati kopi sore atau tempat kerja Dodi yang juga area merokok. Maka pintu-pintu kaca yang rencananya menjadi penghubung ruang utama dengan teras pun diganti dengan tembok. Tapi ini yang kemudian membuat aku jatuh cinta. Selain lantai plester semen, pintu-pintu kaca digantikan dengan tembok hebel yang hanya dicat tanpa dilapis semen, dan juga rooster di sisi lainnya. FYI, punya rumah dengan aksen rooster itu sudah lama kuidam-idamkan makanya aku begitu bahagia mendapati dinding rooster ini.
Dan kemarin, pesanan mebel datang. Salah satunya bangku panjang untuk menggantikan kursi makan di satu sisi meja. Bangku panjang ini juga kuidam-idamkan sejak lama.
Pesanan lain adalah meja kerja untuk Dodi. Dan ruangan kerja adalah satu hal yang khusus di-request Dodi untuk rumah kami. Rencananya dia akan menaruh banyak bukunya di sini, juga poster-poster peta dunia dan everest. Untuk ruangan ini, aku menjahitkan tirai kotak-kotak berbahan flanel. Selanjutnya, ruang ini menunggu pemiliknya pulang...
Meja kerja by Homey Furniture |
Menjahit korden adalah pekerjaan selanjutnya. Rasanya puas pas ngeliat kordennya bisa berlekuk sempurna sewaktu dipasang. Sesederhana itu. Sesederhana keinginan untuk selalu pulang ke rumah.
Dipan by Homey Furniture |
Masih perlu banyak sentuhan untuk menjadikannya betul-betul mencerminkan kami. Juga banyak ruang-ruang yang belum beres dikerjakan seperti dapur, ruang tivi, juga ruang jahitku.
Rumah selalu punya makna buatku. Rumah adalah tempat untuk pulang - dalam keadaan apapun. Untuk me-recharge energi dan pikiran. Home is where the heart is.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar