Inilah intimate #17 Copenhagen houses. Sebetulnya tidak terlalu istimewa karena sarung bantal kali ini tanpa sulaman. Itu karena kainnya sudah cantik sekali: motif rumah-rumah yang menjadi ciri khas Copenhagen.
Bandingkan dengan rumah-rumah di Copenhagen dalam foto ini.
Selain gambar rumah-rumah khas Copenhagen, di bagian bawah juga ada motif snow flakes. Snow flakes ini bisa ditemui di tempat-tempat yang musim dinginnya kering (tidak lembab). Aku menemukannya di Finland. Dan aslinya, snow flakes ini cantik sekali. Masing-masing punya motif berbeda.
Sarung bantal ini sebetulnya hasil ngembat dari kamar kos Dilla di Finland dalam
petualangan 30 jam di sana. Hanya saja, ukuran bantal di sana berbeda dengan umumnya bantal di sini. Terlalu lebar, dan panjangnya juga lebih sempit. Karena itu sarung bantal ini lama tidak aku pakai. Tapi minggu lalu, baru aku sadar kalau sarung bantal ini menyisakan sekitar 30 cm untuk bagian lipatan dalamnya. Artinya, kalau jahitannya dibongkar, akan cukup untuk membuat sarung bantal yang sesuai dengan ukuran standar panjang bantal di sini, 70 cm, dan masih ada sisa sekitar 10 cm untuk lipatannya. Lalu, tunggu apa lagi?
Bagian lebarnya, lebih lebar dari sarung bantal di sini, tetapi sayang sekali kalau motif snow flake-nya harus dipotong. Maka aku biarkan saja sarung bantal ini terlalu lebar. Tidak terlalu mengganggu. Malah, lebih lengkap sarung bantal ini mengantarkan mimpiku untuk bisa mengunjungi negara-negara Scandinavia lagi - untuk hunting kain dan Marimekko... Hehehe...
Satu lagi foto deretan rumah warna-warni. Ini hasil perjalanan ke Makassar kemarin. Sepintas mungkin bisa dibandingkan dengan deretan rumah-rumah Copenhagen. Tapi situasinya sungguh berbeda.
Ini pemandangan dari tepi Jalan Metro Tanjung Bunga di Makassar, tepatnya di seberang Celebes Convention Centre. Rumah sekolah kami, berada paling kiri. Perkampungan yang masuk dalam wilayah kecamatan Mariso yang merupakan kecamatan terpadat di Makassar ini dulunya berada di pesisir. Proyek reklamasi yang dimulai sejak tahun 1997 telah menimbun kawasan pesisir Mariso, disusul dengan pembangunan fisik lainnya seperti jalan, hotel, mall, wahana permainan berbayar, dan lain-lain. Reklamasi pula menutup akses saluran irigasi kota, menyebabkan sampah menumpuk di sekitar permukiman.
Sokola mulai berkegiatan di sana sejak akhir tahun 2004, berawal dari program literasi, beasiswa sekolah, PAUD, kelas lifeskill, dan lain-lain. Hingga kini, tak kurang dari 1.000 anak dan remaja telah berpartisipasi di sana. Dan setiap tahun, setidaknya ada 100 anak dan remaja yang berkegiatan di tempat kami.
Awal bulan ini, aku ke sana dengan Dilla dan mendapatkan kabar buruk: pemilik tanah tempat rumah sekolah kami berdiri, meminta kami pindah pada bulan Mei 2012 nanti. Mungkin kami harus maklum, harga tanah di sana terus meningkat dan siapa tidak tergiur. Tapi persoalan pindah bukan perkara mudah. Pertama, tidak mudah untuk menemukan lokasi yang cukup luas di kampung padat itu yang bisa menampung kegiatan kami. Kedua, kami tidak punya cukup uang untuk membeli atau mengontrak tanah lain karena sebetulnya bangunan rumah ini merupakan milik kami (bukan milik si tuan tanah) yang bisa dibongkar pasang (knock down). Ketiga, bingung juga mau diapakan rumah ini? Ditinggalkan untuk menjadi milik si tuan tanah rasanya kok tidak mungkin. Keenakan dia, dapat bangunan yang terdiri dari kayu-kayu bagus yang kalau dijual tentu nilainya lebih tinggi dari sekadar uang kontrak tanah selama lima tahun. Mau dijual? Adakah yang berminat?
PR ini cukup menguras pikiran. Sepertinya 2012 akan menjadi tahun yang menuntut kerja keras. Semoga bisa terlewati dengan baik. Dan anak-anak, di manapun Sokola berada, tetap bisa berkegiatan.
S.O.S. - Support Our School!